Kamis, 19 Desember 2013

Karya Ilmiah: Makalah Haji_nsr

Karya Ilmiah: Makalah Haji_nsr

Makalah Haji_nsr


BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
                Pada dasarnya umat manusia sudah sejak lama mengenal dan melakukan kunjungan atau perjalanan spiritual dari suatu tempat ke tempat lain dalam rangka ibadah. Tradisi perjalanan spiritual ini dapat ditemui dalam sejarah kehidupan masyarakat termasuk dibelahan timur. Ibadah ini dimaksudkan agar manusia mampu mengenal jati diri, membersihkan dan menyucikan jiwa mereka.
                Meskipun ibadah haji dikenal dalam agama-agama sebelum Islam, namun terdapat perbedaan mendasar. Perbedaan itu tampak dalam menentukan tempat-tempat yang dikunjungi, keterlibatan pemuka-pemuka agama dalam upacara ritual dan binatang-binatang kurban yang disembelih.
                Ibadah haji yang dilakukan umat Islam di tanah suci Makkah sangatlah erat kaitannya dengan Ka’bah. Didalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Ka’bah merupakan rumah suci yang pertama kali didirikan.
B.        Pembatasan Masalah
                Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan penulis dan agar pembahasan lebih mendalam, dalam penulisan  makalah ini penulis akan membahas tentang sejarah haji, hukum haji, macam-macam haji, dan dalil-dalil yang berkenaan dengan haji.
C.        Rumusan Masalah
                 Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian yaitu;
1.       Bagaimana sejarah pelaksanaan Haji?
2.       Apa Pengertian Haji?
3.       Apa Hukum Haji?
4.       Ada Berapa Macam-Macam Haji?
5.       Apa Saja Dalil-Dalil Tentang Haji?
D.     Tujuan Penulis
               Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui hal-hal mengenai Haji dan bagian-bagiannya.















BAB II
PEMBAHASAN
A.     Sejarah Haji
                Haji adalah ritual yang pertama kali diperintahkan oleh Allah pada masa Nabi Ibrahim dan telah dipercaya oleh Allah untuk membangun ka’bah di Mekah. Setelah membangun Ka’bah Nabi Ibrahim datang ke Mekkah untuk melaksanakan haji setiap tahunnya, dan setelah wafat dilanjutkan oleh anaknya Nabi Ismail.
                Hal ini dimulai pada kisah Hajar dan Ismail. Dimana Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk membawa Hajar dan anak mereka yang masih kecil Ismail menuju Kan’an kearah selatan, menuju lembah yang bernama Baka atau Bakkah, kemudian nama Bakkah tersebut dirubah menjadi nama Mekkah. Mereka sampai di Mekkah tersebut yang hanya padang pasir yang ada ditumbuhi pohon, dan semak. Mereka tinggal disitu berkat perintah Allah dan setelah itu Nabi Ibrahim diperintahkan untuk kembali ke Kan’an (Palestina sekarang) sebagaimana Jibril berkata, “Allah memerintahkan engkau untuk meninggalkan mereka (Hajar dan Ismail)” di tempat tersebut (disamping Ka’bah sekarang). Dan Ibrahim membangunkan tenda untuk tempat berteduh. Lalu Nabi Ibrahim berdo’a.[1]
  
Artinya:
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.[2]
                Ketika Ibrahim akan pergi, Hajar bertanya, “apakah perintah Allah yang membuatmu meninggalkan kami?” Ibrahim menjawab ‘Ya’, maka Hajar berkata “Jika dengan demikian tentu Allah tidak akan meninggalkan kami binasa”. Kemudian Nabi Ibrahim kembali ke Kan’an dan meninggalkan Istri dan anaknya di Rumah Allah.
                Dalam catatan sejarah penulis menyimpulkan bahwa setelah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail, mereka banyak mendapatkan ujian dan cobaan, bermula ketika anaknya Ismail yang menangis kehausan, sedangkan ASI Hajar juga tidak ada lagi, maka Hajar dengan sabarnya mencarikan air untuk Ismail, ia berlari ke bukit Safa karena mendengarkan suara air, tetapi ia tidak menemukan apa-apa, kemudian ia mendengar suara di bukit Marwa lalu ia pergi ke sana, juga tidak menemukan apapun, ini dilakukan sebanyak tujuh kali bolak-balik, ini merupakan awal sejarah diperintahkannya untuk Sa’i (lari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa) sebanyak tujuh kali ketika melaksanakan Ibadah Haji. Ketika Hajar sampai di Marwa yang ketujuh kalinya ia mendengar suara gemuruh dari tempat ia meninggalkan Ismail, kemudian ia berlari menuju tempat anaknya. Hajar melihat ada air yang memancar di dekat Ismail, lalu Hajar segera memberi Ismail minum. Sampai sekarang telaga (sumur) itu di kenal dengan air Zamzam.
                Setelah Nabi Ismail sudah beranjak dewasa dan kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail untuk membangun dan merenovasi Ka’bah (Rumah Allah) dengan meninggikan fondasi yang sudah ada. Dalam Qur’an surah Al-Baqarah 127 Allah menjelaskan.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah (amal) dari Kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".[3]
              Dalam sejarah dikatakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. memiliki kebiasaan membuat semacam “tempat berdiri” untuk sembahyang (Shalat)  menghadap Allah yang disebut Magom (dalam bahasa Ibrani) atau Maqam dalam bahasa Arab. Dan hal ini melatar belakangi diperintahkannya untuk sembahyang ditempat tersebut dalam ibadah haji atau umrah, sebagaimana Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 125
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim* tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".[4]
* Ialah tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. diwaktu membuat Ka'bah.

              Setelah Ka’bah selesai dibangun, barulah turun perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. agar menyeru manusia untuk menunaikan ibadah haji. Sebagaimana Allah memerintahkan dalam al-Qur’an.
  
Artinya:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus* yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”[5]
*Unta yang kurus menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
              Kemudian Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar diajarkan tata cara dalam beribadah haji. Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Baqarah 128 dijelaskan.
“Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.[6]
                Nabi Ibrahim a.s. pertama kali melaksanakan manasik haji adalah ia melakukan ihram, serta tidak melakukan larangan ihram begitu menginjakkan kaki di Tanah haram (Tanah Suci), meninggalkan pakaiaan hari-hari dan menggantinya dengan pakaian ihram. Hal ini menunjukkan bahwa segala atribut kekayaan, jabatan dan status sosial yang disandangkan orang kepadanya. Semua status manusia sama dihadapan Allah, yaitu hamba Allah.
                Kemudian jamaah haji harus melakukan wukuf di padang Arafah, ini merupakan tempat pertemuan nenek moyang umat manusia Adam dan Hawa. Sebab itu tempat wukuf disebut dengan padang Arafah “padang pengenalan”.
                Setelah itu, jamaah haji harus malakukan Thawaf, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Kemudian jamaah harus melakukan sa’i meniru gerakan hajar yang bolak-balik antara bukit Safah dan Marwah. Kata Sa’i adalah usaha ini membuktikan bahwa Hajar dalam memperoleh air Zamzam setelah melakukan sa’i.
                Pada tahun 625 (4 H), Allah menetapkan bahwa syariat haji dari Nabi Ibrahim a.s. harus dilakukan umat islam.
                Haji telah diwajibkan sejak tahun ke-9 Hijriah Nabi Muhammad SAW mengirim orang sebanyak 300 dibawah pimpinan Hazrat Abubakr Siddiq untuk ke Mekkah melaksanakan haji. Pada tahun berikutnya tahun ke-10 Hijriah Nabi Muhammad mengumumkan bahwa beliau akan melaksanakan haji setiap tahun. Beliau memimpin ribuan muslim untuk melaksanakan haji dan menjelaskan kepada mereka bagaimana melakukan ritual haji. Haji ini dikenal dengan nama haji al Wadaa’ atau haji perpisahan karena merupakan haji terakhir Nabi Muhammad SAW.
                Ketika Rasulullah Thawaf ia mencium Hajar Aswad dan berlari-lari mengelilingi Ka’bah sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat setelah orang usil tersebut pergi, Rasulullah mengajak sahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Ini merupakan latar belakang sunnah thawaf yaitu berlari-lari kecil ketika tiga putaran pertama khusus pada thawaf yang pertama.
                Selesai tujuh putaran, Rasulullah shalat di maqam nabi Ibrahim, kemudian minum zamzam. Sesudah itu Rasulullah malakukan sa’i antara Safah dan Marwah dan melakukan tahallul (menghalalkan kembali) larangan-larangan di dalam ihram.[7]
B.     Pengertian Haji
                Kata “Haji” menurut bahasa ialah Al-Qashdu, artinya bermaksud. Mengerjakan sesuatu dengan sengaja atau menuju tempat dengan sengaja, yang dilakukan berulang-ulang. Menurut syara’, “haji” menuju ke batullah atau menghadap Allah untuk megerjakan seluruh rukun dan persyaratan haji yang telah ditentukan oleh syariat islam. Dalam arti lain, haji adalah sengaja mengunjungi ka’bah atau baitullah untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-syarat tertentu, yakni mengerjakan tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah dan manasik haji lainnya dengan mengikuti tuntunan Rasulullah.[8]
                Dengan melaksanakan ibadah haji berarti sengaja mengujungi ka’bah dalam rangka melaksanakan rukun islam atas panggilanNya yang diwajibkan bagi setiap muslim yang berakal lagi mampu. Dengan demikian pelaksanan haji wajib bagi muslim dan muslimah yang sudah balig dan mampu dalam perjalanan (istitha’ah).
C.      Hukum Haji
            Mengenai hukum Ibadah Haji asal hukumnya adalah wajib ‘ain bagi yang mampu. Melaksanakan haji wajib, yaitu karena memenuhi rukun Islam dan apabila kita “nazar” yaitu seorang yang bernazar untuk haji, maka wajib melaksanakannya, kemudian untuk haji sunat, yaitu dikerjakan pada kesempatan selanjutnya, setelah pernah menunaikan haji wajib.
                Hukum Haji adalah “wajib” bagi orang Islam yang mampu sekali seumur hidup. Sebagaimana Firman Allah SWT :
 

Artinya:
“….Mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orangorang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS.Ali Imran : 97).
            Haji merupakan rukun Islam yang ke lima, diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu untuk mengerjakan. jumhur Ulama sepakat bahwa mula-mulanya disyari’atkan ibadah haji tersebut pada tahun ke enam Hijrah, tetapi ada juga yang mengatakan tahun ke sembilan hijrah.[9]
            Jadi sebelumnya tahun keenam Hijrah pekaksanaan syar’at belum diwajibkan, meskipun orang tersebut memiliki harta yang banyak, akan tetapi syaria’at kewajiban tersebut tidak menuntut untuk dilaksanakan karena belum diperintahkan.
            Melaksanakan kewajiban haji harus desegerakan, terutama bagi yang telah memiliki kemampuan materi dan fisiknya masih kuat, karena kewajiban haji hanya satu kali seumur hidup. Dalam hadits yang diterima dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW. Telah bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ النَّبِيُّ صلعم تَعَجَّلُوْا اِلىَ اْلحَجِّ فَاءِنَّ أَحَدَكُمْ لاَيَدْرِى مَا يَعْرَضُلَهُ
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas, Nabi SAW. Telah bersabda, ‘segerakanlah kamu mengerjakan haji karena sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari datangnya suatu halangan yang akan merintanginya’.” (H.R. Ahmad)
D.     Macam-Macam Haji
Para Ulama Madzhab sepakat bahwa haji ada 3 macam, yaitu: Tamattu’, Qiran, dan ifrad.[10]
1.       Haji Tamattu’.[11]
                  Haji Tamattu’ ialah melakukan umrah terlebih dahulu pada musim haji, kemudian melaksanakan ibadah haji. Yaitu dengan cara berniat untuk mengambil umrah haji ketika sampai di miqat sebelum memasuki kota makkah dengan ucapan, “Allahumma labbaika ‘umratan mutamatti’an biha ilal hajj”. Setelah sampai di Mekkah, lalu melaksanakan umrah dengan cara yang sama seperti tata cara umrah. Setelah melakukan umrah sampai selesai melakukan tahalul, halal baginya segala sesuatu yang tadinya diharamkan ketika ihram, sampai tanggal 8 Dzulhijjah baru kemudian berihram kembali untuk menyempurnakan amalan-amalan haji yang tersisa. Ia melaksanakan seluruh  manasik umrah, kemudian melaksanakan manasik haji dengan sempurna pula. Haji tamattu’ adalah cara paling afdhal menurut mazhab Hambali
              Bila menggunakan cara ini, maka yang bersangkutan diwajibkan membayar dam nusuk (berupa menyembelih seekor kambing, kalau tidak mampu berpuasa 10 hari yaitu 3 hari di Makkah atau di Mina dan 7 hari di tanah air), apabila puasa 3 hari di Makkah tidak dapat dilaksanakan karena suatu hal maka harus diqadha sesampainya di kampung halaman dengan ketentuan puasa yang tiga hari dengan ketentuan puasa yang tiga hari dengan tujuh hari dipisahkan 4 hari.
              Dalam hal ini para Imam Madzhab sepakat bahwa arti Tamattu’ ialah melakukan amalan-amalan umroh terlebih dahulu pada bulan-bulan haji, dan setelah selesai baru melaksanakan amalan-amalan haji.
Empat madzhab : boleh bagi siapa saja baik orang Mekah ataupun non Mekah untuk memilih salah satu diantara tiga bentuk haji, yaitu: Tamattu’, Qiran, dan ifrad. Tidak ada yang dimakruhkan. Hanya Abu Hanifah yang berpendapat: Bagi orang mekah dimakruhkan melakukan Tamattu’ dan  Qiran secara bersamaan.
              Haji ifrad yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Haji dahulu kemudian Ibadah Umroh, dan diselingi Tahallul.
Pelaksanaan :
a)  Ihram dari miqat untuk Haji
b)  Ihram lagi dari miqat untuk Umroh
c)   Tidak membayar Dam
2.       Haji Qiran
                  Haji qiran ialah mengerjakan haji dan umrah di dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Yaitu seorang berniat melakukan haji saja tanpa umrah pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqat,“Labbaika hajjan wa ‘umrotan”. Setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan thawaf qudum dan sa’i (untuk sa’i boleh ditunda sampai setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelah sa’i tidak halal baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap dalam keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah.Cara ini juga wajib membayar dam nusuk. Pelaksanaan dam sama dengan pada haji Tamattu’.[12]
                  Haji Qiran adalah haji yang paling afdhal menurut mazhab Hanafi.
Haji tamattu yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Umroh dahulu kemudian Ibadah Haji, dan diselingi Tahallul.
Pelaksanaan :
a)  Ihram dari miqat untuk Umroh
b)  Ihram lagi dari miqat untuk Haji
c)   Membayar Dam
d)  Disunatkan Tawaf Qudum.
              Dalam Hal ini Imam Madzhab sepakat bahwasannya mengartikan Qiran adalah berihram untuk haji dan umrah secara bersamaan, dengan mengatakan.[13]
 “Labbaikallohumma Bihajjin wa ‘Umratin”
3.      Haji Ifrad
              Haji ifrad ialah melakukan haji saja. yaitu seorang berniat melakukan haji saja tanpa umrah pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqat“Labbaika hajjan”. Sama dengan haji qiran;setelah.sampai.di      Mekkah,.lalu            melakukan thawaf qudum dan sa’i (untuk sa’i boleh ditunda sampai setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelah sa’i tidak halal baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap dalam keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah. Bagi yang akan umrah wajib atau sunnah maka setelah menyelesaikan hajinya, dapat melaksanakan umrah dengan miqat dari Tan’im, Ji’ranah, Hudaibiyah atau dareah tanah halal lainnya. Cara ini tidak dikenakan dam.
              Haji ifrad yaitu Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Haji dahulu kemudian Ibadah Umroh, dan diselingi Tahallul.
Pelaksanaan :
a)  Ihram dari miqat untuk Haji
b)  Ihram lagi dari miqat untuk Umroh
c)   Tidak membayar Dam
              Para Ulama Madzhab dalam hal ini sepakat bahwa arti Ifrad ialah melakukan haji terlebih dahulu, dan setelah selesai dari amalan-amalan haji ia melakukan ihram untuk umrah, dan kemudian melakukan amalan-amalan umrah.[14]
                  Bagi orang menunaikan haji tamattu’ dan qiran wajib menyembelih hewan hadyu, minimal seekor kambing, dan jika tidak mampu bias diganti dengan puasa sepuluh hari: tiga hari di antaranya dilakukan pada waktu haji, (setelah memulainya dengan ihram)  dan yang afdhal pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, diperbolehkan pula puasanya pada hari tasyriq juga seperti dalam hadits Al Bukhari: Tidak ada rukhshah berpuasa di hari tasyriq kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan al hadyu. Jika puasa tiga hari lewat waktunya maka ia wajib mengqadha’nya. Dan tujuh hari lainnya ketika sudah kembali ke tanah air, tidak disyaratkan berkelanjutan puasa itu  kecuali pada tiga hari pertama.  Dan tujuh hari berikutnya tidak wajib  berurutan.
E.      Dalil-Dalil Tentang Haji
1.      Surat Al-Imran Ayat 97

Artinya:
                          "sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat)manusia, ialah Baitullah yang ada di Bakkah (Makkah) yang selalu di berkati dan jadi petunjuk untuk alam manusia semesta"
                          "Disitu terdapat beberapa bukti yang nyata, diantaranya tempat peribadatan Ibrahiim. Barang siapa yang bisa masuk kedalamnya, niscaya mendapat keamanan. Allah mewajibkan kepada manusia mengerjakan haji ke rumah itu yaitu orang-orang yang berkemampuan untuk kesana. Siapa yang ingkar, sesungguhnya allah maha kaya tidak membutuhkan sesuatu dari alam semesta"[15]
                Dari ayat diatas, kami berpendapat bahwa ka’bah (Baitullah) merupakan suatu tempat yang pertamakali dijadikan sebagai tempat ibadah manusia yaitu sejak nabi Ibrahim, sebagaimana dikenal dengan sebutan tempat ibadahnya. Tidak ada sebelumnya tempat ibadah yang khusus sebelum Ka’bah. Hal ini juga merupakan bantahan Allah terhadap Ahlu kitab yang mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama kali adalah baitul maqdis. ayat tersebut juga menyampaikan bahwa Ka’bah tersebut juga merupakan sumber keberkahan dan sebagai petunjuk bagi seluruh alam.



2.      SURAT AL-BAQOROH 196 – 197(#qJÏ?r&ur 

Artinya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.”
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”[16]
3.      Al-Baqarah Ayat 189
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya* akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
*Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal ini ditanyakan pula oleh Para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini.
                  Dari ayat di atas pemakalah menyimpulkan bahwa pelaksanaan Ibadah haji hanya berada pada bulan tertentu, yaitu pada bulan dzul hijjah, dengan melihat bulan sabit yang memiliki tanda-tanda untuk melaksanakan haji.
4.      Al-Baqarah Ayat 197
Artinya:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi*, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats**berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa***dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.”

*Ialah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah.
**Rafats artinya mengeluarkan Perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh.
***Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
                Haji adalah ritual yang pertama kali diperintahkan oleh Allah pada masa Nabi Ibrahim dan telah dipercaya oleh Allah untuk membangun ka’bah di Mekah. Setelah membangun Ka’bah Nabi Ibrahim datang ke Mekkah untuk melaksanakan haji setiap tahunnya, dan setelah wafat dilanjutkan oleh anaknya Nabi Ismail.
                Haji adalah sengaja mengunjungi ka’bah atau baitullah untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-syarat tertentu, yakni mengerjakan tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah dan manasik haji lainnya dengan mengikuti tuntunan Rasulullah.
                Hukum Haji adalah “wajib” bagi orang Islam yang mampu sekali seumur hidup. Sebagaimana Firman Allah SWT :
Artinya:
“….Mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orangorang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS.Ali Imran : 97).
                Para Ulama Madzhab sepakat bahwa haji ada 3 macam, yaitu: Tamattu’, Qiran, dan ifrad.
B.     Saran
                Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis, untuk itu penulis mengharapkan kepada para pembaca terutama bagi dosen pembimbing mata kuliah Fiqih. Untuk memberikan kritik dan sarannya kepada penulis demi kesempurnaan makalah selanjutnya.


[1] Muhammad Ibnu Jarir ath Thabari, Tarkh ar-Rasul wa I-Mulk (Sejarah Para Rasul dan Para Penguasa), Jilid.1, hlm 275
[2] Multazam. Al-Qur’an Qardaba  Tajwid dan Terjemah. (Bandug: Cordoba Internasional-Indonesia, 2013) surah Ibrahim  37.
[3] Al-Qur’an Terjemah Al-Baqarah 127.
[4] Al-Qur’an Surah Al-Baqarah 125
[5] Al-Qur’an Surah Al-Hajj 27.
[6] Al-Qur’an Terjemah Al-Baqarah 128
[7]
[8] A. Hasan Ridwan, Fiqih Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 247
[9] Rs. Abd. Aziz,Fiqih, (Semarang:Wicaksana,1991) hlm. 26
[10] Muhammad jawad mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta:PENERBIT LENTERA,2011), hlm. 222
[11] Ibid, 222-223
[12] Drs. H. Imron Abu Bakar, Terjemah fat-hul Qarib Jilid 1, (Kudus:Menara kudus), hlm. 206
[13] Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit.,hlm. 223
[14] Ibid.,
[15] Al-Mahalli & As-suyuti. Terjemah Tafsir Jalalain. (Bandung:SINAR BARU ALGRESINDO,2011), hlm. 246
[16] Al-Mahalli & As-suyuti. Terjemah Tafsir Jalalain.  (Bandung: SINAR BARU ALGRESINDO, 2011), hlm. 102-105