Rabu, 21 Mei 2014

Studi Al-Qur’an (Pendekatan Filologi dan History)


Tugas Mandiri                                                                          Dosen Pembimbing
Mata Kuliah STUDI HADITS                                Dra. Hj. NURHASANAH, MA           


ULUMUL HADITS
(PENGERTIAN, SEJARAH, BAGIAN-BAGIAN, DAN KITAB-KITABNYA)





DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
ABDUL WAHAB MUNTHE
KHAIRUN NASRI
AHMAD SUBUHAN
ANGGA PERMANA

SEMESTER II
JURUSAN ILMU HUKUM (IH-1)
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU-PEKANBARU
2014


BAB I
PENDAHULUAN
               
A.      Latar Belakang
                  Studi Alquran adalah ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan Alquran. Alquran sebagai kitab suci umat islam yang berlaku sepanjang zaman tidak akan pernah habis dan selesai untuk dibahas. Inilah yang membuktikan kemukjizatan Alquran sekaligus perbedaan Alquran dengan kitab suci lainnya. Pengkajian studi ini sangatlah penting bagi umat islam khususnya, agar dapat mengetahui berbagai hal yang terkandung di dalam kitab suci tersebut.
                  Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu modern untuk mengkaji Al-Qur’an mulai digemari, kita perlu memahami Al-Qur’an melalui berbagai dimensi dan dengan berbagai pendekatan. Salah satunya dengan pendekatan filologi dan sejarah yang akan dibahas dimakalah ini.
B.      Pembatasan Masalah
                Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan penulis dan agar pembahasan lebih mendalam, dalam penulisan  makalah ini penulis akan membahas tentang Studi Al-Qur’an (Pendekatan Filologi dan History)
C.      Rumusan Masalah
                   Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian yaitu;
1.       Apa Pengertian Pendekatan Filologi?
2.       Apa Pengertian Pendekatan History?
3.       Memahami apa saja pendekatan historis dalam Studi Al-Qur’an?
D.      Tujuan Penulis
               Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk Mengetahui apa pengertian pendekatan Filologis, Mengetahui apa pengertian pendekatan Historis, Memahami apa saja pendekatan historis dalam Studi Al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN
A.       PENDEKATAN FILOLOGI
                  Secara etimologis, filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata’. Dengan demikian, kata filologi membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’ (Shipley dalam Baroroh-Baried, 1985: 1). Arti tersebut kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’, dan ‘senang kasustraan atau senang kebudayaan’ (Baroroh-Baried, 1985: 1).[1]
                  Pendekatan filologi atau literal dalam studi Islam meliputi  metode tafsir sebagai pendekatan filologi terhadap alqur’an dalam menggali makna yang dikandungnya, pendekatan filologi terhadap hadits atau sunnah Rasul dan pendekatan filologi terhadap teks-teks klasik (hermeneutika) yang merupakan refleksi kebudayaan kuno dalam tulisan-tulisan para intelek di masanya.
                  Filologi selama  ini  dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa   lampau   yang   berupa   tulisan.   Studi   terhadap   karya   tulis   masa   lampau dilakukan  karena  adanya  anggapan  bahwa  dalam  peninggalan  aliran  terkandung nilai-nilai   yang   masih   relevan   dengan   kehidupan   masa   kini.
B.      PENDEKATAN HISTORY  (SEJARAH)
                  Ditinjau dari sisi etimologi, kata sejarah berasal dari bahasa Arab syajarah (pohon) dan dari kata history dalam bahasa Inggris yang berarti cerita atau kisah. Kata history sendiri lebih populer untuk menyebut sejarah dalam ilmu pengetahuan. Jika dilacak dari asalnya, kata history berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam, khususnya manusia.
                  Melalui  pendekatan ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Pendekatan sejarah ini amat diperlukan dalam memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu turun dalam situasi konkrit, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam, hal ini Islam menurut pendekatan sejarah ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al Qur’an itu  terbagi menjadi dua bagian, yaitu; konsep dan kisah sejarah.
                  Pendekatan historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai sekarang.[2] Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
                  Jika pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan hal-hal berkenaan Al-Qur’an dengan menelusuri sumber-sumber sejarah, maka pendekatan ini bisa didasarkan kepada personal historis. Pendekatan semacam ini berusaha untuk menelusuri awal perkembangan turunnya Al-Qur’an, untuk menemukan sumber-sumber dan jejak perkembangan Al-Qur’an, serta mencari pola-pola interaksi antara agama dan masyarakat. Pendekatan sejarah pada akhirnya akan membimbing ke arah pengembangan teori tentang evolusi agama dan perkembangan kelompok-kelompok keagamaan.[3]
                  Bersamaan dengan pendekatan filologis, pendekatan kesejarahan juga sangat dominan dalam tradisi kajian islam modern. Kajian terhadap naskah-naskah klasik keislaman telah merangsang mereka untuk mengoperasikan pendekatan kesejarahan berdasarkan dokumen-dokumen yang telah ada.
                  Berikut ini ada beberapa tema yang akan dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories.

1.       Sejarah Turunnya Al-Quran
              Allah SWT menurunkan Al-Qur'an dengan perantaraan malaikat jibril sebagai pengentar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia / berumur 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan terakhir alqu'an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat 3.
              Alquran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan surat disesuaikan dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan. Selain itu dengan turun sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad SAW akan lebih mudah menghafal serta meneguhkan hati orang yang menerimanya. Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Penjelasan turunnya secara berangsur-angsur itu terdapat dalam firman Allah;
 
“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)

              Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya Al-Qur’an pertama kali pada lailatul qadr merupakan pemberitahuan kepada alam samawi yang dihuni para Malaikat tentang kemulian Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan riasalah barunya agar menjadi umat paling baik. Turunnya Al-Qur’an kedua secara bertahap. Rasulullah tidak menerima risalah besar ini dengan cara sekaligus.[4]
            Turunnya Al-Qur’an sekaligus dijelaskan dalam riwayat Ibnu Abbas.
“Al-Qur’an itu dipisahkan dari Az-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia. Maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. (HR. Al-Hakim)
“Allah menurunkan Al-Qur’an sekaligus ke langit dunia, pusat turunnya Al-Qur’an secara gradual. Lalu, Allah menurunkannya kapada Rasul-Nya bagian demi bagian” (HR. Al-Hikam dan Baihaqi)
            Adapun Al-Qur’an diturunkan secara bertahap sebagaimana Allah SWT berfirman dalam kitabnya yang mulia QS. Al-Baqarah 185;
  

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. Al-Baqarah: 185)

            Dan firmanNya QS.Al-Qadr: 1
 
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan (lailatul qadar).” (QS. Al-Qadr: 1)

              Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan, di antaranya:
a)   Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).
b)   Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
c)    Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".
d)   Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.
 
 “Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha” (QS. An Najm: 13-14)

2.       Pengertian Al-Qur’an
              Al-Quran adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para rasul.
              "Quran" memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan lainnya dalam satu ungkapan kata yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah, yaitu akar kata (masdar-infinitif) dari qara’a, qira’atan wa qur’anan.[5] Allah menjelaskan di dalam Al Qur’an sendiri, ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:
 
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya17. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.18 (QS. Al-Qiyaamah: 17-18)

              Adapun definisi lain Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"
              Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.                  

3.       Kodifikasi (Pengumpulan) Al-Qur’an
            Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengetian berikut:[6]
            Pertama, Pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalkannya di dalam hati).
            Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabuhu Kullihi (penulisan Al-Qur’an semuannya) baik dengan memisahkan-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
a)      Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Rasulullah
          Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah yaitu dengan konteks menghafal dan konteks menulis.
          Rasulullah sangat menyukai wahyu, Ia senantiasa menunggu datangnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis dengan yang dijanjikan Allah;
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”. (QS. Al-Qiyamah: 17)

          Oleh karena itu, ia adalah hafizh (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menhafalnya, sebagai bentuk cinta mereka kepada sumber agama dan risalah Islam.
          Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.
          Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang.
          Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan.
          Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur’a pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
          Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.
          Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tersebut belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.
b)      Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Khalifah Abu Bakr
          Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat. Kemudian Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masanya sangat relatif singkat, yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.
          Abu Bakar dihadapkan peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya sejumlah orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah pada tahun keduabelas hijriyah melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Al-Qur’an . dalam peperangan ini tujuh puluh qari’ dari para sahabat gugur. Melihat itu Umar bin Khaththab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karena khawatir akan musnah.[7]
          Akan tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dari segi yang lain bahwasanya Abu Bakar Siddiq adalah benar-benar orang yang bertitik-tolak dari batasan-batasan syari’at, selalu berpegang menurut jejak-jejak Rasulullah SW, dimana ia khawatir kalau-kalau idenya itu termasuk bid’ah yang tidak dikehendaki oleh Rasul Karena itulah maka Abu Bakar mengatakan kepada Umar: “Mengapa saya harus mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW? Barangkali ia takut terseret oleh ide-ide dan gagasan yang membawanya untuk menyalahi sunnah Rasulullah SAW serta membawa kepada bid’ah.
          Abu Bakar juga khawatir kalau-kalau orang mempermudah dalam usaha menghayati dan menghafal Al-Qur’an, cukup dengan hafalan yang tidak mantap dan khawatir kalau-kalau mereka hanya berpegang dengan apa yang ada pada mushhaf yang akhirnya jiwa mereka lemah untuk menghafal Al-Qur’an. Minat untuk menghafal dan menghayati Al-Qur’an akan berkurang karena telah ada tulisan dan terdapat dalam mushhaf-mushhaf yang dicetak untuk standar membacanya, sedangkan sebelum ada mushhaf-mushhaf mereka begitu mencurahkan kesungguhannya untuk menghafal Al-Qur’an.Namun Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut.
          Akhirnya kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, karena Zaid adalah orang yang betul-betul memiliki pembawaan/kemampuan yang tidak dimiliki oleh shahabat lainnya dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an, ia adalah orang yang hafal Al-Qur’an, ia seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah SAW, ia menyamakan sajian yang terakhir dari Al-Qur’an yaitu dikala penutupan masa hayat Rasulullah SAW.
          Disamping itu ia dikenal sebagai orang yang wara’ (bersih dari noda), sangat besar tanggungjawabnya terhadap amanat, baik akhlaknya dan taat dalam agamanya. Lagi pula ia dikenal sebagai orang yang tangkas (IQ-nya tinggi). Demikianlah kesimpulan kata-kata Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tatkala ia memanggilnya dengan mengatakan: “Anda adalah seorang pemuda yang tangkas yang tidak kami ragukan. Anda adalah penulis wahyu Rasul”. Kita diminta untuk membukukan Al-Qur’an Zaid juga menolak, ia tidak bisa memgemban amanat yang begitu berat. “Demi Allah, andaikata saya ditugaskan untuk memindahkan sebuah bukit tidaklah lebih berat jika dibandingkan degan tugas yang dibebankan kepadaku ini”. (Al-Hadits). kata Zaid bin Tsabit, Ia adalah seorang yang sangat teliti, dapat dilihat dari kata-katanya tersebut.
          Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti dan hati-hati dalam menulis Al-Qur’an. Baginya tidak cukup mengandalkan pada hafalannya semata tanpa disertai dengan hafalan dan tulisan para sahabat.
          Al-Qur’an itu bukan saja dari tulisan-tulisan yang telah ada pada lembaran-lembaran yang telah disebutkan di atas, bahkan juga didengarkan pula dari mulut orang-orang yang hafal Al-Qur’an, kemudian dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang baru, dengan susunan ayat-ayatnya tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah. Lembaran-lembaran ini kemudian diikat menjadi satu, lalu diberi nama Mushhaf, dan disimpan sendiri oleh khalifah Abu Bakar, kemudian oleh khalifah Umar.
          Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah. Adanya mushhasf ini telah dapat menentramkan hati kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya penambahan, pengurangan atau pemalsuan atau kehilangan sebagian ayat-ayatnya. Mushhaf ini disimpan oleh khalifah Abu Bakar sendiri.[8]
          Lembaran-lembaran AlQur’an yang dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada zaman Abu Bakar mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:
1)   Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2)   Yang ditulis pada mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakh bacaannya.
3)   Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4)   Mushhaf itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.[9]
c.)     Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
          Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak sebagaimana mestinya, sebab yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar. Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di setiap kampung terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah memakai qira’ah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.[10]
Perbedaan tersebut ialah:
          Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah sendiri memang tidak memerintahkan supaya surat-surat Al-Qur’an itu disusun menurut tertib umat tertentu, karena masing-masing surat itu pada hakikatnya adalah berdiri sendiri, seingga seolah-olah Al-Qur’an itu terdiri dari 114 kitab. Rasulullah hanya menetapkan tertib urut ayat dalam masing-masing surat itu.
          Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini adalah karena Rasulullah sendiri memang memberikan kelonggaran kepada qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab untuk membaca dan melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an itu menurut dealek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur’an itu, tetapi kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa pertikaian tentang qiraat itu, kalau dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan perpecahan yang lebih luas dikalangan kaum kuslimin, terutama karena masing-masing qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah yang paling baik dan ejaan merekalah yang paling betul. Lebih berbahaya lagi apabila mereka menuliskan ayat-ayat itu dengan ejaan yang sesuai dengan dealek mereka masing-masing.[11]
          Orang yang mula-mula mensinyalir dan menumpahkan perhatian kepada keadaan ini ialah seorang sahabat bernama Hudzaifah Al-Yamani. Ia ikut dalam pertempuran, ketika kaum muslimin menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Di dalam perjalanan ia pernah mendengar perbedaan qiraat kaum muslimin, bahkan ia pernah menyaksikan dua orang muslim sedang bertengkar mengenai bacaan tersebut, di mana yang seorang berkata kepada yang lain:قراءتي أحسن من قراءتك ”Bacaanku lebih baik dari pada bacaanmu”. Hudzaifah merasa khawatir melihat kenyataan ini, sebab itu ketika ia kembali ke Madinah, ia menghadap khalifah Usman dan melaporkan apa-apa yang telah dilihat dan didengarnya. Mengenai perbedaan qiraat itu Hudzaifah berkata (Al-Suyuti, I, 1979:61):
أدرك  الآ مة قبل أن يختلفوا إختلاف اليهود و النصاري
Tertibkanlah umat sebelum mereka berselisih, seperti perselisiannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.
          Usul Hudzaifah ini diterima khalifah Usman.[12] Itulah sebabnya, Usman kemudian berpikir dan merencanakan untuk membendung sebelum kegilaan itu meluas. Beliau akan mengusir penyakit sebelum kesulitan mencari obat. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan fitnah dan persengketaan itu.
          Usman ra telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini. Beliau memilih empat orang tokoh handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash dan Abdurrahman bin Hisyam.
          Mereka dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid, ia dari golongan Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung pada tahun 24 H.[13]
          Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yaitu menuliskan atau menyalin kembali ayat-ayat Al-Qur’an itu dari lembaran-lembaran yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.




BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
                   Pendekatan filologi atau literal dalam studi Islam meliputi  metode tafsir sebagai pendekatan filologi terhadap alqur’an dalam menggali makna yang dikandungnya, pendekatan filologi terhadap hadits atau sunnah Rasul dan pendekatan filologi terhadap teks-teks klasik (hermeneutika) yang merupakan refleksi kebudayaan kuno dalam tulisan-tulisan para intelek di masanya.
                   Pendekatan historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai sekarang. Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
                   Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu modern untuk mengkaji Al-Qur’an mulai digemari, kita perlu memahami Al-Qur’an melalui berbagai dimensi dan dengan berbagai pendekatan. Salah satunya dengan pendekatan filosofis dan sejarah yang dibahas dimakalah ini.
                   Salah satu pedoman hidup dalam beragama adalah kitab suci, kitab suci agama Islam adalah Al-Qur’an. Al-Quran adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para Rasul.
B.        Saran
                   Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis, untuk itu penulis mengharapkan kepada para pembaca terutama bagi dosen pembimbing mata kuliah MSI. Untuk memberikan kritik dan sarannya kepada penulis demi kesempurnaan makalah selanjutnya.


[1] http://mahrus-salim.blogspot.com/makalah-filologis-pendekatan-histori.html/diakses pada 18-04-2014
[2]  Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm.1
[3] Dudung Abdurrahman. Pendekatan Sejarah, hlm. 49
[4] Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Trjmh H.Aubur Rafiq El-Mazni, Lc. MA. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm.124
[5] Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. ibid., hlm.16
[6] Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Ibid., hlm.150-151
[7] Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Ibid.,hal.159
[8] A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur’an. (Jakarta: Diadit Media, 2007), hlm 56-58
[9] M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm 86
[10] M. Qodirun Nur. Ibid., hlm 89
[11] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit., hlm 60-62
[12] Ibid.,
[13] Ibid., hlm 54-56