Mata Kuliah STUDI HADITS Dra. Hj. NURHASANAH, MA
ULUMUL HADITS
(PENGERTIAN,
SEJARAH, BAGIAN-BAGIAN, DAN KITAB-KITABNYA)
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
KHAIRUN NASRI
11327102601
11327102601
SEMESTER II
JURUSAN ILMU HUKUM (IH-1)
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU-PEKANBARU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan
tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus,
maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat
Islam dalam hal ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
Allah telah menganugerahkan kepada umat kita para
pendahulu yang selalu menjaga Alquran dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah
orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka
mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan
sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi dan
ilmunya, mereka adalah para ahli hadis.
Salah satu bentuk nyata para ahli hadis ialah
dengan lahirnya istilah Ulumul Hadis(Ilmu Hadis) yang
merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di dalam Islam, terutama dalam mengenal
dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Karena hadis merupakan sumber ajaran dan
hukum Islam kedua setelah dan berdampingan dengan Alquran. Namun begitu perlu
disadari bahwa hadis-hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam perumusan hukum
dan pelaksanaan ibadah serta sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis-hadis
yang Maqbul (yang diterima), yaitu hadis
sahih dan hadis hasan. Selain hadis maqbul, terdapat pula hadis Mardud, yaitu hadis yang ditolak serta tidak sah
penggunaannya sebagai dalil hukum atau sumber ajaran Islam. Bahkan bukan tak
mungkin jumlah hadis mardud jauh lebih banyak jumlahnya daripada hadis yang
maqbul.
Untuk itulah umat Islam harus selalu waspada dalam
menerima dan mengamalkan ajaran yang bersumber dari sebuah hadis. Artinya,
sebelum meyakini kebenaran sebuah hadis, perlu dikaji dan diteliti
keotentikannya sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Adapun salah satu
cara untuk membedakan antara hadis yang diterima dengan yang ditolak adalah
dengan mempelajari dan memahami Ulumul Hadis yang memuat segala permasalahan
yang berkaitan dengan hadis.
B.
Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan
penulis dan agar pembahasan lebih mendalam, dalam penulisan
makalah ini penulis akan membahas tentang Ulumul Hadits (Pengertian, Sejarah,
Bagian-bagian, dan Kitab-kitabnya).
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
dan batasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian
yaitu;
1.)
Apa Pengertian Ilmu Hadits?
2.)
Bagaimana
Sejarah Ilmu Hadits?
3.)
Apa
Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Hadits?
4.)
Apa
Cabang-cabang Ilmu Hadits?
5.)
Apa
Kitab-kitab Ilmu Hadits?
D. Tujuan Penulis
Tujuan
penulisan karya ilmiah ini adalah untuk Mengetahui apa pengertian pendekatan Filologis, Mengetahui apa
saja Ulumul Hadits
(Pengertian, Sejarah, Bagian-bagian, dan Kitab-kitabnya).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Hadits
Yang
dimaksud ilmu hadits, menurut ulama mutaqoddimin adalah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ اِتِّصَالِ اْلأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَيْثَ مَعْرِفَةِ اَحْوَالِ رَوَّاتِهَا وَظَبْطٍ وَعَدَالَةٍ وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَنِقِطَاعًا.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara
persambungan hadits sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya,
yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya
sanad, dan sebagainya”.[1]
Ilmu Hadis
atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadis yang
mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk
jamak dari ‘ilm,
jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti,
diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak.
Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi
SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, atau sifat,[2]
baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh,
hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak dianggap
sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang
menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang
terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis
ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu,
yaitu Ulumul
Hadis yang memiliki pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan
dengan Hadits Nabi SAW”.
Ilmu-ilmu
yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena
masing-masing membicarakan tentang Hadits dan para perawinya. Akan tetapi, pada
masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan
satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan
tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum
disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi
satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis,
karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama
(beberapa ilmu
yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus
yang nama lainnya adalah Musthalahul Hadis.[3]
B. Sejarah Ilmu Hadits
Pada
dasarnya Ulumul Hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan haits di dalam
Islam, terutama setelah Rasulullah wafat, ketika umat merasa perlunya
penghimpunan hadits-hadits Rasulullah karena adanya kekhawatiran hadits-hadits
tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mula giat melakukan pencatatan
dan periwayatan hadits. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan
metode-metode tertentu dalam menerima hadits, namun mereka belum menuliskan
kaidah-kaidah tersebut.[4]
Ketelitian
dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat pertama kali
dipraktekkan oleh Abu Bakar al-Shiddiq. Diriwayatkan oleh Ibn Syihab al-Zuhri
dari Qibishah ibn Dzu’aib, bahwa suatu hari suatu seorang nenek mendatangi Abu
Bakar menuntut agar kepadanya diberikan harta warisan. Abu Bakar kemudian
menjawab dan menjelaskan kepada nenek tersebut, bahwa dia tidak menemukan ayat
Al-Qur’an yang menyatakan adanya hak nenek tersebut tehadap harta warisan, dan
begitu juga ditemukannya Hadits Rasul SAW yang menjelaskan hal demikian. Oleh
karenanya, Abu Bakar lantas menanyakan permasalah tersebut kepada sahabat yang
hadir. Mendengar permasalahan tersebut, berdirilah Al-Mughirah seraya
mengatakan, bahwa dia pernah menyaksikan Rasul SAW memberikan hak mewarisi
kapada seorang nenek, yaitu sebesar seperenam (al-sudus). Abu Bakar selanjutnya
menanyakan apakah Mughirah mempunyai seorang saksi yang menguatkan kesaksiannya
bahwa Rasul SAW memberi bagian warisan kepada seorang nenek. Pada saat itu
tampillah Muhammad ibn Maslamah yang menyatakn dia juga menyaksikan pemberian
Rasulullah SAW akan bagian warisan kepada seorang nenek. Setelah adanya
kesaksian tersebut, barulah Abu Bakar menerima pemberitaan tentang perbuatan
Rasulullah SAW itu.[5]
Ketelitian
dan sikap hati-hati para sahabat tersebut diikuti oleh para ulama-ulama hadits
yand datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama
pada masa Ali r.a. semenjak itu mualailah dilakukan penelitian terhadap sanad
hadits dengan mempraktekkan ilmu al-Jarah wa al-ta’dil, dan ilmu ini
mulai tumbuh dan berkembang.
Pada
abad kedua hijriah, ketika Hadits telah dibukukan secara resmi oleh atas
prakarsa Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dan dimotori oleh Muhammad ibn Muslim
ibn Syibab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan
hadits dengan menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadits yang sudah ada dan
berkembang samapi pada masa mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan Hadits
Shahih, demikian juga keadaan para perawinya.
Pada
abad ketiga Hijriah yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah
perkembangan Hadits. Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu
yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan
para perawinya, sepert iIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan
lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh
para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in (234H/848M) menulis Tarikh
al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230H/844) menulis Al-Tabaqat,
Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya.
Pada
abad keempat dan kelima Hijriah mulailah ditulis seca khusus kitab-kitab yang
membahas tentang Ilmu Hadits yang bersifat komprehensif, seperti kitab Al-Muhaddits
al-Fashil bayn al-Rawi wa al-wa’i oleh Al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn
‘Abd al-Rahman ibn Khallad al-Ramuharra-muzi (w. 360 H/971 M), Ma’arifat
‘Ulum al-Hadits oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim
al-Naysaburi (w. 450 H/1014 M), Al-Mustakhraj ‘ala Ma’arifat ‘Ulum al-Hadits
oleh Abu Na’im Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Ashbahani (w. 430 H/1038 M), Al-Kifayah
fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib
al-Baghdadi (w. 463 H/1071 M), Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa adab al-sami’ oleh
Al-Baghdadi (463 H/1071 M), dan lain-lain.
Pada
abad-abad berikutnya bermuncullah karya-karya dibidang Ilmu Hadits ini, yang
sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan Ilmu
Hadits, yang diantaranya adalah: ‘Ulum al-Hadits oleh Abu ‘Amr ‘Utsman
ibn ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w. 643 H/1245 M), Tadrib
al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu
Bakar al-Suyuthi (w. 911 H/1505 M). [6]
C. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Hadits
Pada
perkembangan selanjutnya oleh ulama mutaakhirin, ilmu hadits dipecah
menjadi dua, yaitu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah[7].
1.
Ilmu Hadits Riwayah
Yang
dimaksud dengan ilmu hadits riwayah, ialah :
اَلْعِلْمُ الَّذِى يَقُوْمُ عَلَى نَقْلِ مَا أُضِيْفَ إِلَىالنَّبِيِّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ اَوْتَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْخُلُقِيَّةٍ نَقَلاً وَقِيْقًا مُحَرَّرًا.
“Ilmu pengetahuan yang mempelajari
hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah laku”
Ibn al-Akfani, sebagaimana
dikutip oleh as-Suyuti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits
riwayah ialah:
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَىأَقْوَالِ النَّبِىصَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَا.
“Ilmu
pengetahuan yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi saw, baik
periwayatannya, pemeliharaannya, maupun penulisan atau pembukuan lafaz-lafaznya”. [8]
Obyek ilmu hadits riwayah ialah
bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan atau
mendewankan. Demikian menurut pendapat as-Suyuthi. Dalam menyampaikan dan
membukukan hadits hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan
maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan)
dan ‘illat (kecacatan) matan hadits. Demikian pula ilmu ini tidak membahas
tentang kualitas para perawi, baik keadilan, kedhabitan, atau fasikannya.
Adapun faedah mempelajari ilmu
hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari
sumbernya yang pertama, yaitu Nabi saw.[9]
Faidah atau tujuan mempelajari Ilmu Hadits Riwayah juga adalah untuk mengeahui
segala yang berkaitan dengan pribadi nabi dalam upaya mengetahui dan
mengamalkan ajaran beliau guna memperoleh kemenangan dan kebahagiaan hidup di
Dunia dan di Akhirat.[10]
2.
Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah, biasa juga
disebut sebagai ilmu musthalah al-hadits. At-Tirmisi mendefinisikan ilmu ini
dengan :
قَوَانِيْنُ تُحَدُّ يَدْرِي بِهَااَحْوَالُ مَتْنٍ وَسَنَدٍ وَكَيْفِيَّةِ التَحَمُلِ وَاْلأَدَاءِ وَصِفَاتِ الرِّجَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.
“Undang-undang
atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan
meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain”.[11]
Objek kajian atau pokok pembahasan
Ilmu Hadits Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah Sanad dan Matan.[12]
Faedah mempelajari hadits
dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul
(diterima) dan mardud (ditolak) baik dilihat dari sudut sanad maupun
matanya.[13]
D.
Cabang-cabang
Ilmu Hadits
Di
antara cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu hadits riwayah dan dirayah
ialah :
1.)
Ilmu rijalil hadits
2.)
Ilmul jahri watt t a’dil
3.)
Ilmu fannil mubhamat
4.)
Ilmu ‘ilalil hadits
5.)
Ilmu gharibil hadits
6.)
Ilmu nasikh wal mansukh
7.)
Ilmu talfiqil hadits
8.)
Ilmut tashif wat tahrif
9.)
Ilmu asbabi wurudil hadits
1.
Ta’rif dan sejarah ilmu rijalil hadits
Ilmu rijalil hadits, ialah :
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابِةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ.
“ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in,
maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya”
Ilmu
Rijal al-Hadits ini adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam
kapasitasnya sebagai perawi hadits.[14]
Sungguh
penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadits itu, terdiri
dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad,
merupakan separoh pengetahuan.[15]
Permulaan
ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat ialah: al-Bukhary (256
H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad ibn Sa’ad (230 H). Sesudah
itu bangunlah beberapa ahli lagi. Diantaranya, yang penting diterangkan ialah
Ibn Abdil Barr (463 H), kitabnya bernama al-Isti’ab.
Al-Bukhari
dan Muslim telah menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama shahaby yang
hanya meriwayatkan suatu hadits saja yang dinamai wudhdan.
2.
sejarah ilmu jahri wat ta’dil
Ilmu jahri wat-ta’dil, pada
hakikatnya suatu bagian dari ilmu rijalil hadits. Akan tetapi, oleh karena
bagian ini dipandang bagian yang terpenting dipandanglah dia suatu ilmu yang
berdiri sendiri.
Dimaksudkan
dengan ilmu jahri wat ta’dil, ialah :
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرُّواةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَحْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَاتِبِ تَلْكَ اْلاَلْفَاظٍ.
“Ilmu
yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu”.[16]
Mencela
para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak
terpedaya dengan riwayat-riwayatnya) telah tumbuh sejak dari zaman sahabat.
Menurut
keterangan Ibnu ‘Ady (365 H) dalam muqaddimah kitabnya al-Kamil, para ahli
telah membahas keadaan-keadaan para perawi sejak dari zaman sahabat.
Di
antara para sahabat yang membahas keadaan perawi-perawi hadits ialah Ibnu
‘Abbas (68 H), ‘Ubadah ibn Shamil (34 H) dan Anas ibn Malik (93 H).
Di
antara tabi’in ialah asy-Sya’by (103 H), Ibnu Sirin (110 H), Sa’id ibn
al-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang di cela.
Sesudah
berakhir masa tabi’in, yaitu pada kira-kira tahun 150 hijrah, bergeraklah para
ahli pemerkatakan keadaan-keadaan perawi menta’dil dan mentajrihkan
mereka.
Maka
di antara ulama besar yang memberikan perhatian kepada urusan ini, ialah Yahya
ibn Sa’id al-Qaththan (189 H), dan Abdur Rahman ibn Mahdy (198 H).
Sesudah
itu barulah para ahli menyusun kitab-kitab Jarh dan Ta’dil. Di dalamnya
diterangkan keadaan para perawi yang boleh diterima riwayatnya dan yang
ditolak.
Di
antara pemuka-pemuka jarh dan ta’dil, ialah Yahya ibn Ma’in (233 H) dan masuk
ke dalam angkatannya, Ahmad ibn Hanbal (241 H), Muhammad ibn Sa’ad (230 H), Ali
ibn Madiny (234 H), Abu Bakar ibn Abi Syaibah (235 H), Ishaq ibn Rahawaih (237
H).
Sesudah
itu, ad-Darimy (255 H), al-Bukhary (256 H), al-Ajaly (261 H), Muslim (261 H),
Abu Zur’ah (265 H), Abu Hatim ar-Razy (277 H), Abu Daud (275 H), Baqy ibn
Makhlad (276 H), Abu Zar’ah ad-Dimasyqy (281 H).
Dan
terus berlanjut pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan
keadaan perawi, hingga sampailah kepada Ibnu Hajar al-Asqalany (825 H).
3.
Ta’rif dan sejarah ilmu fannil
mubhamat
Dimaksud dengan ilmu ini, ialah
:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ الْمُبْهَمُ الَّذِي وَقَعَ فِىالْمَتْنِ أَوْ فِىالسَّنَدِ.
“Ilmu
untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan, atau di
dalam sanad”[17]
Di
antara yang menyusun kitab ini, al-Khatib al-Baghdady. Kitab al-Khatib itu
diringkaskan dan dibersihkan oleh an-Nawawy dalam kitab al-Isyarat ila
Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi
yang tidak disebut namanya dalam Shahih Bukhari diterangkan dengan selengkapnya
oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam Hidayatus Sari Muqoddamah Fathul Bari.
4.
Ta’rif dan sejarah ilmu tashrif wat
tahrif
Ilmu tashrif wat tahrif, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَا صُحِّفَ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ وَمَاخُرِفَ مِنْهَا.
“Ilmu
yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dirubah titiknya (yang dinamai
mushahhaf) dan bentuknya yang dinamai muharraf”.
Di
antara kitab yang menerangkan ilmu ini, ialah kitab ad-Daruquthny (385 H) dan
kitab at-Tashhif wat Tahrif, karangan Abu Ahmad al-Askary (283 H).
5.
Ta’rif dan sejarah ilmu ‘ilalil hadits
Ilmu ‘ilalil hadits, ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أَسْبَابِ غَامِضَةٍ خَفِيَّةٍ قَادِجَةٍ فِىصِحَّةِ الْحَدِيْثِ.
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan
hadits”.
Yakni
menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits yang
lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan
keshahihan hadits.
Ilmu
ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui
penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang
sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat
terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Di
antara para ulama yang menulis ilmu ini ialah: Ibnu Madiny (234 H), Ibni Abi
Hatim (327 H). Kitab beliau ini dinamai kitab Ilalil Hadits. Dan di antara yang
menulis kitab ini pula, al-Imam Muslim (261 H), ad-Daruquthny (375 H), dan
Muhammad ibn Abdillah al-Hakm.
6.
Ta’rif dan sejarah ilmu gharibil hadits
Ilmu gharibil hadits, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فىمتون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ.
“Ilmu
yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar
diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.
Menurut
sejarah, yang mula-mula berusaha dalam bab ini ialah Abu Ubaidah Ma’mar ibn
al-Mutsanna (210 H), kemudian usaha itu diluaskan lagi oleh Abul Hasan
al-Maziny (204 H). Usaha beliau-beliau ini berlaku di penghujung abad kedua
hijrah.
Di
awal abad ketiga hijrah berusahalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Sallam (244 H)
menyusun kitabnya yang terkenal dalam ilmu gharibil hadits, yang diusahakan
dalam tempo 40 tahun. Kitabnya mendapat sambutan dari masyarakat, sehingga
datang massanya Ibnu Qutaibah ad-Dainury (276 H). Beliau menyusun kitabnya yang
terkenal pula.
Maka
dengan terdapat dua kitab itu, terkumpullah sebagian besar dari kata-kata yang
gharib. Sesudah itu, berusaha pula beberapa ahli, sehingga sampai kepada masa
al-Khaththaby (378 H). Dan setelah kitabnya selesai, terdapat tiga induk kitab
bagi segala kitab gharibil hadits.
Sesudah
itu berusaha pula az-Zamakhsyari menyusun kitabnya yang dinamai al-Fa-iq.
Kitab ini tinggi nilainya, disusun secara abjad. Sesudah itu bangun pula Abu
Bakar al-Asybahany (581 H), menyusun kitabnya dengan mengikuti sistem
al-Harawy.
Sesudah
itu datanglah Ibnul Atsier (606 H), lalu menyusun kitabnya an-Nihayah.
Kitab inilah sebesar-besar kitab gharibil hadits yang terdapat dalam masyarakat
Islam. Kitab ini diikhtisarkan oleh as-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya yang
dinamai ad-Durrun Natsier.
Kiranya,
kitab an-Nihayah ini mencukupi bagi seseorang di dalam mempelajari arti
kata-kata yang sukar dan ganjil yang terdapat dalam matan-matan hadits.
7.
Ta’rif dan sejarah ilmu nasikh wal
mansukh
Ilmun nasikh wal mansukh
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ النَّاسِخِ وَالْمَنْسُوْخِ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ.
“Ilmu
yang mempelajari hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya”.
Apabila
didapati suatu hadits yang maqbul, tak ada perlawanan, dinamailah hadits
tersebut muhkam. Dan jika di lawan dengan hadits yang sederajat, tapi
mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar, maka hadits itu dinamai mukhtaliful
hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka
yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
Banyak
para ahli yang menyusun kitab nasikh dan mansukh ini, diantaranya Ahmad ibn
Ishaq a-Dienary (318 H), Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany (322 H), Ahmad ibn
Muhammad an-Nahnas (388 H), dan sesudah beberapa ulama lagi menyusunnya.
Datanglah Muhammad ibn Musa al-Hazimy (584 H) menyusun kitabnya yang dinamai al-I’tibar.
Kitab al-I’tibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu ‘Abdil Haq (744 H).
8.
Ta’rif dan sejarah ilmu asbabi wurudil
hadits
Ilmu ini ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى وَرَدَ لأَجْلِهِ الْحَدِيْثُ وَالزَّمَانُ الَّذِي جَأَفِيْهِ.
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi
menuturkan itu”.
Penting
diketahui, karena itu ini menolong kita dalam memahamkan hadits, sebagai ilmu Asbabun
Nuzul menolong kita dalam memahamkan al-Qur’an.
Ulama
yang mula-mula menyusun kitab ini ialah Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja
al-Ukbary, dari murid Ahmad (309 H). Dan kemudian ditulis pula oleh Ibrahim ibn
Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husainy (1120 H), dalam
kitabnya al-Bayan wat Ta’rif yang telah dicetak tahun 1329 H.
9.
Ta’rif dan sejarah ilmu talfiqil
hadits (Mukhtalif al-Hadits)
Ilmu talfiqil hadits ialah:
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْقِيْفِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُتَنَاقِضَةِ ظَاهِرًا.
“Ilmu
yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan
lahirnya”.
Dikumpulkan
itu adakala dengan mentakshishkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang
mutlaq, atau dengan memandang banyak sekali terjadi.
Ilmu
ini juga dinamai dengan ilmu mukhtaliful hadits. Di antara ulama besar yang
telah berusaha menyusun ilmu ini ialah: al-Imam asy-Syafi’i (204 H).[18]
E.
Kitab-kitab Ulumul Hadits
Berikut merupakan kitab-kitab
Ulumul Hadits:
1.) Kitab Al Makhzun fi ‘Ulumil Hadits Karangan Syekh Abul Fatha
al-Azdi
2.) Kitab Muqoddimah Syarkh Nawawi ‘Ala Sholih Muslim, Karangan Imam
Al-Nawawi
3.) Kitab Asbabul Wurudil Hadits, Karangan Al-Imam Jalaludin As
Suyuthi.
4.) Kitab Fathul Mughits Syarkh Alfayatul Hadits, karangan Syaikh
Muhammad bin Abdurrahman As Syarkhowi.
5.) Kitab Al Kifayah Fi ‘Ilmi Riwayah, Karangan Al-Imam Khotib
Al-Baghdadi.[19]
6.) Kitab Ilalul Hadits, Karangan Al-Imam Ibnu Abi Hatim.
7.) Kitab Lubabul Hadits, Karangan Al-Imam Jalaludin As Suyuthi.
8.) Kitab Al ‘Ilal Wa Ma’rifatu Rijal, Karangan Imam Ahmad Ibnu
Hambal.
9.) Kitab Ikhtishoru ‘Ulumil Hadits, Karangan Al-Imam Al Hafiz Ibnu
Katsir.
10.) Kitab Tadribu Rowi Fi Syarkhi Taqribi Nawawi, Karangan Al-Imam
Jalaludin As Suyuthi.
11.) Kitab At Taqrib Wa Taisir Lima’rifati Sunanil Bisyiri Nadzir, Karangan
Al-Imam Nawai.
12.) Kitab Taghliqu Ta’liq Fi Shohih Bukhari, Karangan Al Imam Ibnu
Hajar Al As ‘Asqolani.
13.) Kitab Nuzhatus Shohabah ‘Ani Tabi’in, Karangan Al Imam Ibnu Hajar
Al As ‘Asqolani.
14.) Kitab Tsamarotul Nadhor Fi ‘Ilmi Atsar, Karangan Al Imam
As-Shon’ani.
15.) Kitab Ikhtilaful Hadits, karangan Al Imam As Syafi’i.
16.) Kitab Al Madkhol Ilal Iklil, Karangan Al Hakim An Nasaiburi.
17.) Kitab Al ‘Ilalul Waridah Fil Ahaaditsi Nabawiyyah, Karangan Al
Imam Daruquthi.
18.) Kitab Nihayah Gharib Al-Hadits, Karangan Ibn Al-Atsir.[20] Dan
lain-lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ilmu hadits
adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits
sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya yang menyangkut
kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan
sebagainya. Ilmu hadits dipecah menjadi dua, yaitu: ilmu hadits riwayah dan
ilmu hadits dirayah, dan keduanya masih dibagi menjadi beberapa cabang, yaitu: Ilmu
rijalil hadits, Ilmul jahri watt t a’dil, Ilmu fannil mubhamat, Ilmu ‘ilalil
hadits, Ilmu gharibil hadits, Ilmu nasikh wal mansukh, Ilmu talfiqil hadits, Ilmut
tashif wat tahrif, dan Ilmu asbabi wurudil hadits.
B.
Saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman
penulis, untuk itu penulis mengharapkan kepada para pembaca terutama bagi dosen
pembimbing mata kuliah STUDI HADITS.
Untuk memberikan kritik dan sarannya kepada penulis demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.
[1]
Munzier, Suparta. Ilmu Hadits. (Jakarta: Rajawali Perss, 2013 Cet-8),
hlm.23
[2]
Nawir, Yuslem. Ulumul Hadits. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2008),
hlm.1
[3]
Ibid., hlm.2
[4]
Nawir, Yuslem. Ibid., hlm.15
[5]
Ibid., hlm.18-19
[6]
Nawir, Yuslem. Ibid., hlm.26-29
[7]
M. Syuhudi, Ismail. Pengantar Ilmu Hadits. (Bandung: Bandung, 1987),
hlm.61
[8]
Munzier, Suparta. Ilmu Hadits. (Jakarta: Rajawali Perss, 2013 Cet-8),
hlm.24
[9]Munzier,
Suparta. Ibid.,
[10]
M. Syuhudi, Ismail. Pengantar Ilmu Hadits. (Bandung: Bandung, 1987),
hlm.62
[11]
Munzier, Suparta . Op.cit., hlm.25-26.
[12]
Nawir, Yuslem. Ulumul Hadits. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2008),
hlm.12
[13]
Nawir, Yuslem. Ibid., hlm.13
[14]
Munzier, Suparta. Loc.cit., hlm.30
[15]Munzier,
Suparta. Ibid.,
[16]
http://atullaina.blogspot.com/2009/10/ulumul-hadits-dan-sejarah.html. Diakses
09 Mei 2014, pkl. 15.09
[17]
Ibid.,
[18]
Munzier, Suparta. Ilmu Hadits. (Jakarta: Rajawali Perss, 2013 Cet-8),
hlm.45
[19]
Mahmud, Thahan. Ilmu Hadits Praktis, Trjm. Abu Fuad. (Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2013), hlm.9
[20]
Munzier, Suparta. Ilmu Hadits. (Jakarta: Rajawali Perss, 2013 Cet-8),
hlm.41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar