Rabu, 21 Mei 2014

Pengertian, Sejarah, bagian-bagian, serta Kittab-kitab Ulumul Hadits


Tugas Mandiri                                                           Dosen Pembimbing
Mata Kuliah STUDI HADITS                                Dra. Hj. NURHASANAH, MA           


ULUMUL HADITS
(PENGERTIAN, SEJARAH, BAGIAN-BAGIAN, DAN KITAB-KITABNYA)




DISUSUN OLEH: 
KELOMPOK I
KHAIRUN NASRI 
11327102601

SEMESTER II
JURUSAN ILMU HUKUM (IH-1)
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU-PEKANBARU
2014

BAB I
PENDAHULUAN
               
A.      Latar Belakang
                  Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
                  Allah telah menganugerahkan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Alquran dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadis.
                  Salah satu bentuk nyata para ahli hadis ialah dengan lahirnya istilah Ulumul Hadis(Ilmu Hadis) yang merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di dalam Islam, terutama dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Karena hadis merupakan sumber ajaran dan hukum Islam kedua setelah dan berdampingan dengan Alquran. Namun begitu perlu disadari bahwa hadis-hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam perumusan hukum dan pelaksanaan ibadah serta sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis-hadis yang Maqbul (yang diterima), yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Selain hadis maqbul, terdapat pula hadis Mardud, yaitu hadis yang ditolak serta tidak sah penggunaannya sebagai dalil hukum atau sumber ajaran Islam. Bahkan bukan tak mungkin jumlah hadis mardud jauh lebih banyak jumlahnya daripada hadis yang maqbul.
                  Untuk itulah umat Islam harus selalu waspada dalam menerima dan mengamalkan ajaran yang bersumber dari sebuah hadis. Artinya, sebelum meyakini kebenaran sebuah hadis, perlu dikaji dan diteliti keotentikannya sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Adapun salah satu cara untuk membedakan antara hadis yang diterima dengan yang ditolak adalah dengan mempelajari dan memahami Ulumul Hadis yang memuat segala permasalahan yang berkaitan dengan hadis.
B.      Pembatasan Masalah
                Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan penulis dan agar pembahasan lebih mendalam, dalam penulisan  makalah ini penulis akan membahas tentang Ulumul Hadits (Pengertian, Sejarah, Bagian-bagian, dan Kitab-kitabnya).
C.      Rumusan Masalah
                   Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian yaitu;
1.)    Apa Pengertian Ilmu Hadits?
2.)    Bagaimana Sejarah Ilmu Hadits?
3.)    Apa Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Hadits?
4.)    Apa Cabang-cabang Ilmu Hadits?
5.)    Apa Kitab-kitab Ilmu Hadits?
D.      Tujuan Penulis
                Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk Mengetahui apa pengertian pendekatan Filologis, Mengetahui apa saja Ulumul Hadits (Pengertian, Sejarah, Bagian-bagian, dan Kitab-kitabnya).









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ilmu Hadits
                  Yang dimaksud ilmu hadits, menurut ulama mutaqoddimin adalah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ اِتِّصَالِ اْلأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَيْثَ مَعْرِفَةِ اَحْوَالِ رَوَّاتِهَا وَظَبْطٍ وَعَدَالَةٍ وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَنِقِطَاعًا.
Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya”.[1]
                  Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadis yang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, atau sifat,[2] baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.
                  Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadits dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalah Musthalahul Hadis.[3]

B.      Sejarah Ilmu Hadits
                  Pada dasarnya Ulumul Hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan haits di dalam Islam, terutama setelah Rasulullah wafat, ketika umat merasa perlunya penghimpunan hadits-hadits Rasulullah karena adanya kekhawatiran hadits-hadits tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mula giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadits. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadits, namun mereka belum menuliskan kaidah-kaidah tersebut.[4]
                  Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat pertama kali dipraktekkan oleh Abu Bakar al-Shiddiq. Diriwayatkan oleh Ibn Syihab al-Zuhri dari Qibishah ibn Dzu’aib, bahwa suatu hari suatu seorang nenek mendatangi Abu Bakar menuntut agar kepadanya diberikan harta warisan. Abu Bakar kemudian menjawab dan menjelaskan kepada nenek tersebut, bahwa dia tidak menemukan ayat Al-Qur’an yang menyatakan adanya hak nenek tersebut tehadap harta warisan, dan begitu juga ditemukannya Hadits Rasul SAW yang menjelaskan hal demikian. Oleh karenanya, Abu Bakar lantas menanyakan permasalah tersebut kepada sahabat yang hadir. Mendengar permasalahan tersebut, berdirilah Al-Mughirah seraya mengatakan, bahwa dia pernah menyaksikan Rasul SAW memberikan hak mewarisi kapada seorang nenek, yaitu sebesar seperenam (al-sudus). Abu Bakar selanjutnya menanyakan apakah Mughirah mempunyai seorang saksi yang menguatkan kesaksiannya bahwa Rasul SAW memberi bagian warisan kepada seorang nenek. Pada saat itu tampillah Muhammad ibn Maslamah yang menyatakn dia juga menyaksikan pemberian Rasulullah SAW akan bagian warisan kepada seorang nenek. Setelah adanya kesaksian tersebut, barulah Abu Bakar menerima pemberitaan tentang perbuatan Rasulullah SAW itu.[5]
                  Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat tersebut diikuti oleh para ulama-ulama hadits yand datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama pada masa Ali r.a. semenjak itu mualailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadits dengan mempraktekkan ilmu al-Jarah wa al-ta’dil, dan ilmu ini mulai tumbuh dan berkembang.
                  Pada abad kedua hijriah, ketika Hadits telah dibukukan secara resmi oleh atas prakarsa Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dan dimotori oleh Muhammad ibn Muslim ibn Syibab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadits dengan menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadits yang sudah ada dan berkembang samapi pada masa mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan Hadits Shahih, demikian juga keadaan para perawinya.
                  Pada abad ketiga Hijriah yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan Hadits. Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, sepert iIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230H/844) menulis Al-Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya.
                  Pada abad keempat dan kelima Hijriah mulailah ditulis seca khusus kitab-kitab yang membahas tentang Ilmu Hadits yang bersifat komprehensif, seperti kitab Al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-wa’i oleh Al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn Khallad al-Ramuharra-muzi (w. 360 H/971 M), Ma’arifat ‘Ulum al-Hadits oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naysaburi (w. 450 H/1014 M), Al-Mustakhraj ‘ala Ma’arifat ‘Ulum al-Hadits oleh Abu Na’im Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Ashbahani (w. 430 H/1038 M), Al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H/1071 M), Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa adab al-sami’ oleh Al-Baghdadi (463 H/1071 M), dan lain-lain.
                  Pada abad-abad berikutnya bermuncullah karya-karya dibidang Ilmu Hadits ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan Ilmu Hadits, yang diantaranya adalah: ‘Ulum al-Hadits oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w. 643 H/1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w. 911 H/1505 M). [6]

C.      Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Hadits
                  Pada perkembangan selanjutnya oleh ulama mutaakhirin, ilmu hadits dipecah menjadi dua, yaitu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah[7].
1.      Ilmu Hadits Riwayah
Yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah, ialah :
اَلْعِلْمُ الَّذِى يَقُوْمُ عَلَى نَقْلِ مَا أُضِيْفَ إِلَىالنَّبِيِّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ اَوْتَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْخُلُقِيَّةٍ نَقَلاً وَقِيْقًا مُحَرَّرًا.
 Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah laku
                Ibn al-Akfani, sebagaimana dikutip oleh as-Suyuti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah ialah:
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَىأَقْوَالِ النَّبِىصَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَا.
Ilmu pengetahuan yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi saw, baik periwayatannya, pemeliharaannya, maupun penulisan atau pembukuan lafaz-lafaznya”. [8]
                Obyek ilmu hadits riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan atau mendewankan. Demikian menurut pendapat as-Suyuthi. Dalam menyampaikan dan membukukan hadits hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan hadits. Demikian pula ilmu ini tidak membahas tentang kualitas para perawi, baik keadilan, kedhabitan, atau fasikannya.
                Adapun faedah mempelajari ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi saw.[9] Faidah atau tujuan mempelajari Ilmu Hadits Riwayah juga adalah untuk mengeahui segala yang berkaitan dengan pribadi nabi dalam upaya mengetahui dan mengamalkan ajaran beliau guna memperoleh kemenangan dan kebahagiaan hidup di Dunia dan di Akhirat.[10]
2.      Ilmu Hadits Dirayah
                Ilmu hadits dirayah, biasa juga disebut sebagai ilmu musthalah al-hadits. At-Tirmisi mendefinisikan ilmu ini dengan :
قَوَانِيْنُ تُحَدُّ يَدْرِي بِهَااَحْوَالُ مَتْنٍ وَسَنَدٍ وَكَيْفِيَّةِ التَحَمُلِ وَاْلأَدَاءِ وَصِفَاتِ الرِّجَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.
Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain”.[11]
          Objek kajian atau pokok pembahasan Ilmu Hadits Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah Sanad dan Matan.[12]
                Faedah mempelajari hadits dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) baik dilihat dari sudut sanad maupun matanya.[13]
D.      Cabang-cabang Ilmu Hadits
                  Di antara cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu hadits riwayah dan dirayah ialah :
1.)       Ilmu rijalil hadits
2.)       Ilmul jahri watt t a’dil
3.)       Ilmu fannil mubhamat
4.)       Ilmu ‘ilalil hadits
5.)       Ilmu gharibil hadits
6.)       Ilmu nasikh wal mansukh
7.)       Ilmu talfiqil hadits
8.)       Ilmut tashif wat tahrif
9.)       Ilmu asbabi wurudil hadits

1.       Ta’rif dan sejarah ilmu rijalil hadits
Ilmu rijalil hadits, ialah :
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابِةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ.
ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya
                Ilmu Rijal al-Hadits ini adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.[14]
                Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadits itu, terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad, merupakan separoh pengetahuan.[15]
                Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat ialah: al-Bukhary (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad ibn Sa’ad (230 H). Sesudah itu bangunlah beberapa ahli lagi. Diantaranya, yang penting diterangkan ialah Ibn Abdil Barr (463 H), kitabnya bernama al-Isti’ab.
                                Al-Bukhari dan Muslim telah menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama shahaby yang hanya meriwayatkan suatu hadits saja yang dinamai wudhdan.
2.       sejarah ilmu jahri wat ta’dil
                Ilmu jahri wat-ta’dil, pada hakikatnya suatu bagian dari ilmu rijalil hadits. Akan tetapi, oleh karena bagian ini dipandang bagian yang terpenting dipandanglah dia suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Dimaksudkan dengan ilmu jahri wat ta’dil, ialah :
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرُّواةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَحْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَاتِبِ تَلْكَ اْلاَلْفَاظٍ.
Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu”.[16]
                Mencela para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya) telah tumbuh sejak dari zaman sahabat.
                Menurut keterangan Ibnu ‘Ady (365 H) dalam muqaddimah kitabnya al-Kamil, para ahli telah membahas keadaan-keadaan para perawi sejak dari zaman sahabat.
                Di antara para sahabat yang membahas keadaan perawi-perawi hadits ialah Ibnu ‘Abbas (68 H), ‘Ubadah ibn Shamil (34 H) dan Anas ibn Malik (93 H).
                Di antara tabi’in ialah asy-Sya’by (103 H), Ibnu Sirin (110 H), Sa’id ibn al-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang di cela.
                                Sesudah berakhir masa tabi’in, yaitu pada kira-kira tahun 150 hijrah, bergeraklah para ahli pemerkatakan keadaan-keadaan perawi menta’dil dan mentajrihkan mereka.
                Maka di antara ulama besar yang memberikan perhatian kepada urusan ini, ialah Yahya ibn Sa’id al-Qaththan (189 H), dan Abdur Rahman ibn Mahdy (198 H).
                Sesudah itu barulah para ahli menyusun kitab-kitab Jarh dan Ta’dil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
                Di antara pemuka-pemuka jarh dan ta’dil, ialah Yahya ibn Ma’in (233 H) dan masuk ke dalam angkatannya, Ahmad ibn Hanbal (241 H), Muhammad ibn Sa’ad (230 H), Ali ibn Madiny (234 H), Abu Bakar ibn Abi Syaibah (235 H), Ishaq ibn Rahawaih (237 H).
                Sesudah itu, ad-Darimy (255 H), al-Bukhary (256 H), al-Ajaly (261 H), Muslim (261 H), Abu Zur’ah (265 H), Abu Hatim ar-Razy (277 H), Abu Daud (275 H), Baqy ibn Makhlad (276 H), Abu Zar’ah ad-Dimasyqy (281 H).
                Dan terus berlanjut pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampailah kepada Ibnu Hajar al-Asqalany (825 H).
3.       Ta’rif dan sejarah ilmu fannil mubhamat
                Dimaksud dengan ilmu ini, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ الْمُبْهَمُ الَّذِي وَقَعَ فِىالْمَتْنِ أَوْ فِىالسَّنَدِ.
Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan, atau di dalam sanad[17]
                Di antara yang menyusun kitab ini, al-Khatib al-Baghdady. Kitab al-Khatib itu diringkaskan dan dibersihkan oleh an-Nawawy dalam kitab al-Isyarat ila Bayani Asmail Mubhamat.
                Perawi-perawi yang tidak disebut namanya dalam Shahih Bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam Hidayatus Sari Muqoddamah Fathul Bari.
4.       Ta’rif dan sejarah ilmu tashrif wat tahrif
                Ilmu tashrif wat tahrif, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَا صُحِّفَ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ وَمَاخُرِفَ مِنْهَا.
Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dirubah titiknya (yang dinamai mushahhaf) dan bentuknya yang dinamai muharraf”.
                Di antara kitab yang menerangkan ilmu ini, ialah kitab ad-Daruquthny (385 H) dan kitab at-Tashhif wat Tahrif, karangan Abu Ahmad al-Askary (283 H).
5.       Ta’rif dan sejarah ilmu ‘ilalil hadits
                Ilmu ‘ilalil hadits, ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أَسْبَابِ غَامِضَةٍ خَفِيَّةٍ قَادِجَةٍ فِىصِحَّةِ الْحَدِيْثِ.
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits”.
                Yakni menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan keshahihan hadits.
                Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
                Di antara para ulama yang menulis ilmu ini ialah: Ibnu Madiny (234 H), Ibni Abi Hatim (327 H). Kitab beliau ini dinamai kitab Ilalil Hadits. Dan di antara yang menulis kitab ini pula, al-Imam Muslim (261 H), ad-Daruquthny (375 H), dan Muhammad ibn Abdillah al-Hakm.
6.       Ta’rif dan sejarah ilmu gharibil hadits
                Ilmu gharibil hadits, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فىمتون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ.
Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.
                                Menurut sejarah, yang mula-mula berusaha dalam bab ini ialah Abu Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (210 H), kemudian usaha itu diluaskan lagi oleh Abul Hasan al-Maziny (204 H). Usaha beliau-beliau ini berlaku di penghujung abad kedua hijrah.
                Di awal abad ketiga hijrah berusahalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Sallam (244 H) menyusun kitabnya yang terkenal dalam ilmu gharibil hadits, yang diusahakan dalam tempo 40 tahun. Kitabnya mendapat sambutan dari masyarakat, sehingga datang massanya Ibnu Qutaibah ad-Dainury (276 H). Beliau menyusun kitabnya yang terkenal pula.
                Maka dengan terdapat dua kitab itu, terkumpullah sebagian besar dari kata-kata yang gharib. Sesudah itu, berusaha pula beberapa ahli, sehingga sampai kepada masa al-Khaththaby (378 H). Dan setelah kitabnya selesai, terdapat tiga induk kitab bagi segala kitab gharibil hadits.
                Sesudah itu berusaha pula az-Zamakhsyari menyusun kitabnya yang dinamai al-Fa-iq. Kitab ini tinggi nilainya, disusun secara abjad. Sesudah itu bangun pula Abu Bakar al-Asybahany (581 H), menyusun kitabnya dengan mengikuti sistem al-Harawy.
                Sesudah itu datanglah Ibnul Atsier (606 H), lalu menyusun kitabnya an-Nihayah. Kitab inilah sebesar-besar kitab gharibil hadits yang terdapat dalam masyarakat Islam. Kitab ini diikhtisarkan oleh as-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya yang dinamai ad-Durrun Natsier.
                Kiranya, kitab an-Nihayah ini mencukupi bagi seseorang di dalam mempelajari arti kata-kata yang sukar dan ganjil yang terdapat dalam matan-matan hadits.
7.       Ta’rif dan sejarah ilmu nasikh wal mansukh
                Ilmun nasikh wal mansukh
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ النَّاسِخِ وَالْمَنْسُوْخِ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ.
Ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya”.
                Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Dan jika di lawan dengan hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar, maka hadits itu dinamai mukhtaliful hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
                Banyak para ahli yang menyusun kitab nasikh dan mansukh ini, diantaranya Ahmad ibn Ishaq a-Dienary (318 H), Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany (322 H), Ahmad ibn Muhammad an-Nahnas (388 H), dan sesudah beberapa ulama lagi menyusunnya. Datanglah Muhammad ibn Musa al-Hazimy (584 H) menyusun kitabnya yang dinamai al-I’tibar. Kitab al-I’tibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu ‘Abdil Haq (744 H).
8.       Ta’rif dan sejarah ilmu asbabi wurudil hadits
                Ilmu ini ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى وَرَدَ لأَجْلِهِ الْحَدِيْثُ وَالزَّمَانُ الَّذِي جَأَفِيْهِ.
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu”.
                Penting diketahui, karena itu ini menolong kita dalam memahamkan hadits, sebagai ilmu Asbabun Nuzul menolong kita dalam memahamkan al-Qur’an.
                Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini ialah Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja al-Ukbary, dari murid Ahmad (309 H). Dan kemudian ditulis pula oleh Ibrahim ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husainy (1120 H), dalam kitabnya al-Bayan wat Ta’rif yang telah dicetak tahun 1329 H.
9.       Ta’rif dan sejarah ilmu talfiqil hadits (Mukhtalif al-Hadits)
                Ilmu talfiqil hadits ialah:
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْقِيْفِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُتَنَاقِضَةِ ظَاهِرًا.
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan lahirnya”.
                Dikumpulkan itu adakala dengan mentakshishkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlaq, atau dengan memandang banyak sekali terjadi.
                Ilmu ini juga dinamai dengan ilmu mukhtaliful hadits. Di antara ulama besar yang telah berusaha menyusun ilmu ini ialah: al-Imam asy-Syafi’i (204 H).[18]
E.       Kitab-kitab Ulumul Hadits
                Berikut merupakan kitab-kitab Ulumul Hadits:
1.)       Kitab Al Makhzun fi ‘Ulumil Hadits Karangan Syekh Abul Fatha al-Azdi
2.)       Kitab Muqoddimah Syarkh Nawawi ‘Ala Sholih Muslim, Karangan Imam Al-Nawawi
3.)       Kitab Asbabul Wurudil Hadits, Karangan Al-Imam Jalaludin As Suyuthi.
4.)       Kitab Fathul Mughits Syarkh Alfayatul Hadits, karangan Syaikh Muhammad bin Abdurrahman As Syarkhowi.
5.)       Kitab Al Kifayah Fi ‘Ilmi Riwayah, Karangan Al-Imam Khotib Al-Baghdadi.[19]
6.)       Kitab Ilalul Hadits, Karangan Al-Imam Ibnu Abi Hatim.
7.)       Kitab Lubabul Hadits, Karangan Al-Imam Jalaludin As Suyuthi.
8.)       Kitab Al ‘Ilal Wa Ma’rifatu Rijal, Karangan Imam Ahmad Ibnu Hambal.
9.)       Kitab Ikhtishoru ‘Ulumil Hadits, Karangan Al-Imam Al Hafiz Ibnu Katsir.
10.)   Kitab Tadribu Rowi Fi Syarkhi Taqribi Nawawi, Karangan Al-Imam Jalaludin As Suyuthi.
11.)   Kitab At Taqrib Wa Taisir Lima’rifati Sunanil Bisyiri Nadzir, Karangan Al-Imam Nawai.
12.)   Kitab Taghliqu Ta’liq Fi Shohih Bukhari, Karangan Al Imam Ibnu Hajar Al As ‘Asqolani.
13.)   Kitab Nuzhatus Shohabah ‘Ani Tabi’in, Karangan Al Imam Ibnu Hajar Al As ‘Asqolani.
14.)   Kitab Tsamarotul Nadhor Fi ‘Ilmi Atsar, Karangan Al Imam As-Shon’ani.
15.)   Kitab Ikhtilaful Hadits, karangan Al Imam As Syafi’i.
16.)   Kitab Al Madkhol Ilal Iklil, Karangan Al Hakim An Nasaiburi.
17.)   Kitab Al ‘Ilalul Waridah Fil Ahaaditsi Nabawiyyah, Karangan Al Imam Daruquthi.
18.)   Kitab Nihayah Gharib Al-Hadits, Karangan Ibn Al-Atsir.[20] Dan lain-lainnya.




BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
                   Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya. Ilmu hadits dipecah menjadi dua, yaitu: ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah, dan keduanya masih dibagi menjadi beberapa cabang, yaitu: Ilmu rijalil hadits, Ilmul jahri watt t a’dil, Ilmu fannil mubhamat, Ilmu ‘ilalil hadits, Ilmu gharibil hadits, Ilmu nasikh wal mansukh, Ilmu talfiqil hadits, Ilmut tashif wat tahrif, dan Ilmu asbabi wurudil hadits.
B.        Saran
                   Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis, untuk itu penulis mengharapkan kepada para pembaca terutama bagi dosen pembimbing mata kuliah STUDI HADITS. Untuk memberikan kritik dan sarannya kepada penulis demi kesempurnaan makalah selanjutnya.


[1] Munzier, Suparta. Ilmu Hadits. (Jakarta: Rajawali Perss, 2013 Cet-8), hlm.23
[2] Nawir, Yuslem. Ulumul Hadits. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2008), hlm.1
[3] Ibid., hlm.2
[4] Nawir, Yuslem. Ibid., hlm.15
[5] Ibid., hlm.18-19
[6] Nawir, Yuslem. Ibid., hlm.26-29
[7] M. Syuhudi, Ismail. Pengantar Ilmu Hadits. (Bandung: Bandung, 1987), hlm.61
[8] Munzier, Suparta. Ilmu Hadits. (Jakarta: Rajawali Perss, 2013 Cet-8), hlm.24
[9]Munzier, Suparta. Ibid.,
[10] M. Syuhudi, Ismail. Pengantar Ilmu Hadits. (Bandung: Bandung, 1987), hlm.62
[11] Munzier, Suparta . Op.cit., hlm.25-26.
[12] Nawir, Yuslem. Ulumul Hadits. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2008), hlm.12
[13] Nawir, Yuslem. Ibid., hlm.13
[14] Munzier, Suparta. Loc.cit., hlm.30
[15]Munzier, Suparta. Ibid.,
[16] http://atullaina.blogspot.com/2009/10/ulumul-hadits-dan-sejarah.html. Diakses 09 Mei 2014, pkl. 15.09
[17] Ibid.,
[18] Munzier, Suparta. Ilmu Hadits. (Jakarta: Rajawali Perss, 2013 Cet-8), hlm.45
[19] Mahmud, Thahan. Ilmu Hadits Praktis, Trjm. Abu Fuad. (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2013), hlm.9
[20] Munzier, Suparta. Ilmu Hadits. (Jakarta: Rajawali Perss, 2013 Cet-8), hlm.41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar