Tugas Mandiri Dosen Pembimbing
Mata Kuliah STUDI HADITS Dra. Hj. NURHASANAH, MA
ULUMUL HADITS
(PENGERTIAN,
SEJARAH, BAGIAN-BAGIAN, DAN KITAB-KITABNYA)
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
KHAIRUN NASRI
AHMAD SUBUHAN
ANGGA PERMANA
SEMESTER II
JURUSAN ILMU HUKUM (IH-1)
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU-PEKANBARU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Studi
Alquran adalah ilmu yang membahas tentang segala sesuatu yang ada kaitannya
dengan Alquran. Alquran sebagai kitab suci umat islam
yang berlaku sepanjang zaman tidak akan pernah habis dan selesai untuk dibahas.
Inilah yang membuktikan kemukjizatan Alquran sekaligus perbedaan Alquran dengan
kitab suci lainnya. Pengkajian studi ini sangatlah penting bagi umat islam
khususnya, agar dapat mengetahui berbagai hal yang terkandung di dalam kitab
suci tersebut.
Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu
modern untuk mengkaji Al-Qur’an mulai digemari, kita perlu
memahami Al-Qur’an melalui berbagai dimensi dan dengan berbagai pendekatan.
Salah satunya dengan pendekatan filologi dan sejarah
yang akan dibahas dimakalah ini.
B.
Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan
penulis dan agar pembahasan lebih mendalam, dalam penulisan
makalah ini penulis akan membahas tentang Studi Al-Qur’an (Pendekatan Filologi dan History)
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
dan batasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian
yaitu;
1.
Apa Pengertian Pendekatan Filologi?
2.
Apa Pengertian Pendekatan History?
3.
Memahami apa saja pendekatan historis dalam Studi Al-Qur’an?
D. Tujuan Penulis
Tujuan
penulisan karya ilmiah ini adalah untuk Mengetahui apa pengertian pendekatan Filologis, Mengetahui apa
pengertian pendekatan Historis, Memahami apa saja pendekatan historis dalam Studi Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDEKATAN FILOLOGI
Secara etimologis, filologi berasal dari dua kata dalam
bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata’.
Dengan demikian, kata filologi membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang
bertutur’ (Shipley dalam Baroroh-Baried, 1985: 1). Arti tersebut kemudian
berkembang menjadi ‘senang belajar’, dan ‘senang kasustraan atau senang
kebudayaan’ (Baroroh-Baried, 1985: 1).[1]
Pendekatan filologi atau
literal dalam studi Islam meliputi metode tafsir sebagai pendekatan
filologi terhadap alqur’an dalam menggali makna yang dikandungnya, pendekatan
filologi terhadap hadits atau sunnah Rasul dan pendekatan filologi terhadap
teks-teks klasik (hermeneutika) yang merupakan refleksi kebudayaan kuno dalam
tulisan-tulisan para intelek di masanya.
Filologi selama
ini dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa
lampau yang berupa tulisan.
Studi terhadap karya tulis
masa lampau dilakukan karena adanya
anggapan bahwa dalam peninggalan aliran
terkandung nilai-nilai yang masih relevan
dengan kehidupan masa kini.
B.
PENDEKATAN
HISTORY
(SEJARAH)
Ditinjau dari sisi etimologi, kata sejarah
berasal dari bahasa Arab syajarah (pohon)
dan dari kata history dalam bahasa
Inggris yang berarti cerita atau kisah. Kata history sendiri lebih populer untuk menyebut sejarah dalam ilmu
pengetahuan. Jika dilacak dari asalnya, kata history berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam,
khususnya manusia.
Melalui pendekatan ini, seseorang diajak untuk
memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Pendekatan sejarah ini amat diperlukan dalam memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an
itu turun dalam situasi konkrit, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang
mendalam terhadap agama yang dalam, hal ini Islam menurut pendekatan sejarah
ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya
kandungan Al Qur’an itu terbagi menjadi
dua bagian, yaitu; konsep dan kisah sejarah.
Pendekatan historis ini adalah
suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak
dulu sampai sekarang.[2] Menurut
Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif.
Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu
agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan
normatiflah yang menjadi rujukan.
Jika pendekatan sejarah
bertujuan untuk menemukan hal-hal berkenaan Al-Qur’an dengan
menelusuri sumber-sumber sejarah, maka pendekatan
ini bisa didasarkan kepada personal historis. Pendekatan semacam ini berusaha
untuk menelusuri awal perkembangan turunnya Al-Qur’an,
untuk menemukan sumber-sumber dan jejak perkembangan Al-Qur’an, serta mencari pola-pola interaksi antara
agama dan masyarakat. Pendekatan sejarah pada akhirnya akan membimbing ke arah
pengembangan teori tentang evolusi agama dan perkembangan kelompok-kelompok
keagamaan.[3]
Bersamaan dengan pendekatan
filologis, pendekatan kesejarahan juga sangat dominan dalam tradisi kajian
islam modern. Kajian terhadap naskah-naskah klasik keislaman telah merangsang
mereka untuk mengoperasikan pendekatan kesejarahan berdasarkan dokumen-dokumen
yang telah ada.
Berikut ini ada beberapa tema
yang akan dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories.
1. Sejarah Turunnya Al-Quran
Allah SWT menurunkan Al-Qur'an dengan
perantaraan malaikat jibril sebagai pengentar wahyu yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad
berusia / berumur 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan
terakhir alqu'an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni
surah almaidah ayat 3.
Alquran turun tidak secara
sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat, langsung satu surat,
potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan surat disesuaikan dengan
kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan. Selain itu dengan turun sedikit
demi sedikit, Nabi Muhammad SAW akan lebih mudah menghafal serta meneguhkan
hati orang yang menerimanya. Al Qur’an diturunkan
secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13
tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Penjelasan turunnya secara
berangsur-angsur itu terdapat dalam firman Allah;
“Dan
Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa
besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi.
Turunnya Al-Qur’an pertama kali pada lailatul qadr merupakan
pemberitahuan kepada alam samawi yang dihuni para Malaikat tentang kemulian
Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan riasalah barunya agar
menjadi umat paling baik. Turunnya Al-Qur’an kedua secara bertahap. Rasulullah
tidak menerima risalah besar ini dengan cara sekaligus.[4]
Turunnya
Al-Qur’an sekaligus dijelaskan dalam riwayat Ibnu Abbas.
“Al-Qur’an itu dipisahkan dari
Az-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia. Maka Jibril mulai
menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. (HR. Al-Hakim)
“Allah menurunkan Al-Qur’an
sekaligus ke langit dunia, pusat turunnya Al-Qur’an secara gradual. Lalu, Allah
menurunkannya kapada Rasul-Nya bagian demi bagian” (HR. Al-Hikam dan Baihaqi)
Adapun Al-Qur’an diturunkan secara
bertahap sebagaimana Allah SWT berfirman dalam kitabnya yang mulia QS.
Al-Baqarah 185;
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil).” (QS. Al-Baqarah:
185)
Dan firmanNya QS.Al-Qadr: 1
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan (lailatul qadar).” (QS. Al-Qadr: 1)
Nabi
Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan
keadaan, di antaranya:
a) Malaikat
memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat
sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya.
Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam
kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).
b) Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan
kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata
itu.
c) Wahyu
datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat
dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat,
meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta
beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu
turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit:
"Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat
Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras
dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya
wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".
d) Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki, tetapi
benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah
(53) An Najm ayat 13 dan 14.
“Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat
Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil
Muntaha” (QS. An
Najm: 13-14)
Al-Quran adalah firman atau wahyu yang
berasal dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui
malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa,
bangsa dan lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab
taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para rasul.
"Quran" memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun.
Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan lainnya dalam
satu ungkapan kata yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah, yaitu
akar kata (masdar-infinitif) dari qara’a, qira’atan wa qur’anan.[5] Allah
menjelaskan di dalam Al Qur’an sendiri, ada pemakaian kata "Qur’an"
dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:
Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya17. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu.18 (QS. Al-Qiyaamah: 17-18)
Adapun definisi lain Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t.
yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan
yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya
adalah ibadah"
Dengan
definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad
s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak
dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.
3. Kodifikasi (Pengumpulan) Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan pengumpulan
Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengetian
berikut:[6]
Pertama, Pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya
dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (para penghafalnya, yaitu
orang-orang yang menghafalkannya di dalam hati).
Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabuhu
Kullihi (penulisan Al-Qur’an semuannya) baik dengan memisahkan-misahkan
ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayatnya semata dan setiap
surat ditulis dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat
dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surat, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
a) Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Rasulullah
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa
Rasulullah yaitu dengan konteks menghafal dan konteks menulis.
Rasulullah sangat menyukai wahyu, Ia senantiasa menunggu
datangnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis
dengan yang dijanjikan Allah;
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”.
(QS. Al-Qiyamah: 17)
Oleh karena itu, ia adalah hafizh (penghafal)
Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam
menhafalnya, sebagai bentuk cinta mereka kepada sumber agama dan risalah Islam.
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak
zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima
wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang
diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.
Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang
diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di
atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan
tulang.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril
datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol
bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah
diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan
mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an
dari kesalahan dan kekeliruan.
Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur’a pada masa Rasulullah
SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal
sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah
Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar
bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah
bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin
Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara
lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu
Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.
Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka
disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat
itu tulisan-tulisan tersebut belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang
dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan
pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.
b) Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Khalifah Abu Bakr
Masa turunnya wahyu terakhir
dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat. Kemudian Rasulullah
SAW berpulang ke rahmatullah setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut.
Dengan demikian masanya sangat relatif singkat, yang tidak memungkinkan untuk
menyusun atau membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.
Abu Bakar dihadapkan peristiwa-peristiwa besar berkenaan
dengan murtadnya sejumlah orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan
dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan
Yamamah pada tahun keduabelas hijriyah melibatkan sejumlah besar sahabat yang
hafal Al-Qur’an . dalam peperangan ini tujuh puluh qari’ dari para sahabat
gugur. Melihat itu Umar bin Khaththab merasa sangat khawatir melihat kenyataan
ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar
mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karena khawatir akan musnah.[7]
Akan tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan
melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dari segi yang lain
bahwasanya Abu Bakar Siddiq adalah benar-benar orang yang bertitik-tolak dari
batasan-batasan syari’at, selalu berpegang menurut jejak-jejak Rasulullah SW,
dimana ia khawatir kalau-kalau idenya itu termasuk bid’ah yang tidak
dikehendaki oleh Rasul Karena itulah maka Abu Bakar mengatakan kepada Umar:
“Mengapa saya harus mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW? Barangkali ia takut terseret oleh ide-ide dan gagasan yang
membawanya untuk menyalahi sunnah Rasulullah SAW serta membawa kepada bid’ah.
Abu
Bakar juga khawatir kalau-kalau orang mempermudah dalam usaha menghayati dan
menghafal Al-Qur’an, cukup dengan hafalan yang tidak mantap dan khawatir
kalau-kalau mereka hanya berpegang dengan apa yang ada pada mushhaf yang
akhirnya jiwa mereka lemah untuk menghafal Al-Qur’an. Minat untuk menghafal dan
menghayati Al-Qur’an akan berkurang karena telah ada tulisan dan terdapat dalam
mushhaf-mushhaf yang dicetak untuk standar membacanya, sedangkan sebelum ada
mushhaf-mushhaf mereka begitu mencurahkan kesungguhannya untuk menghafal
Al-Qur’an.Namun Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu
Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut.
Akhirnya
kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, karena Zaid adalah orang yang
betul-betul memiliki pembawaan/kemampuan yang tidak dimiliki oleh shahabat
lainnya dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an, ia adalah orang yang hafal Al-Qur’an,
ia seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah SAW, ia menyamakan sajian yang
terakhir dari Al-Qur’an yaitu dikala penutupan masa hayat Rasulullah SAW.
Disamping
itu ia dikenal sebagai orang yang wara’ (bersih dari noda), sangat besar
tanggungjawabnya terhadap amanat, baik akhlaknya dan taat dalam agamanya. Lagi
pula ia dikenal sebagai orang yang tangkas (IQ-nya tinggi). Demikianlah
kesimpulan kata-kata Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tatkala ia
memanggilnya dengan mengatakan: “Anda adalah seorang pemuda yang tangkas yang
tidak kami ragukan. Anda adalah penulis wahyu Rasul”. Kita diminta untuk
membukukan Al-Qur’an Zaid juga menolak, ia tidak bisa memgemban amanat yang
begitu berat. “Demi Allah, andaikata saya ditugaskan untuk memindahkan sebuah
bukit tidaklah lebih berat jika dibandingkan degan tugas yang dibebankan
kepadaku ini”. (Al-Hadits). kata Zaid bin Tsabit, Ia adalah seorang yang sangat
teliti, dapat dilihat dari kata-katanya tersebut.
Zaid
bin Tsabit bertindak sangat teliti dan hati-hati dalam menulis Al-Qur’an.
Baginya tidak cukup mengandalkan pada hafalannya semata tanpa disertai dengan
hafalan dan tulisan para sahabat.
Al-Qur’an itu bukan saja dari tulisan-tulisan
yang telah ada pada lembaran-lembaran yang telah disebutkan di atas, bahkan
juga didengarkan pula dari mulut orang-orang yang hafal Al-Qur’an, kemudian
dituliskan kembali pada lembaran-lembaran yang baru, dengan susunan
ayat-ayatnya tetapi seperti yang ditunjukkan Rasulullah. Lembaran-lembaran ini
kemudian diikat menjadi satu, lalu diberi nama Mushhaf, dan disimpan
sendiri oleh khalifah Abu Bakar, kemudian oleh khalifah Umar.
Maka faedah yang nyata dalam
pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul
di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik
bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah
ditunjukkan Rasulullah. Adanya mushhasf ini telah dapat menentramkan hati kaum
muslimin, bahwa Al-Qur’an itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari
bahaya penambahan, pengurangan atau pemalsuan atau kehilangan sebagian
ayat-ayatnya. Mushhaf ini disimpan oleh khalifah Abu Bakar sendiri.[8]
Lembaran-lembaran AlQur’an yang
dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada zaman Abu Bakar mempunyai beberapa segi
kelebihan yang amat penting:
1) Penelitian yang
sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2) Yang ditulis pada
mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakh bacaannya.
3) Telah menjadi
ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4) Mushhaf itu memiliki
Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih.[9]
c.) Pengumpulan
Al-Qur’an pada Masa Khalifah Utsman
bin Affan
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa
Usman tidak sebagaimana mestinya, sebab yang melatarbelakangi pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Abu Bakar. Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas.
Kaum muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di setiap
kampung terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada
penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab.
Penduduk Kufah memakai qira’ah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi
memakai qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul
perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka, sehingga membawa kepada
pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian
mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.[10]
Perbedaan
tersebut ialah:
Perbedaan mengenai susunan surat.
Naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan atau tertib urut
surat-suratnya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah sendiri memang tidak
memerintahkan supaya surat-surat Al-Qur’an itu disusun menurut tertib umat
tertentu, karena masing-masing surat itu pada hakikatnya adalah berdiri
sendiri, seingga seolah-olah Al-Qur’an itu terdiri dari 114 kitab. Rasulullah
hanya menetapkan tertib urut ayat dalam masing-masing surat itu.
Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula
pertikaian bacaan ini adalah karena Rasulullah sendiri memang memberikan
kelonggaran kepada qabilah-qabilah Islam di Jazirah Arab untuk membaca dan
melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an itu menurut dealek mereka masing-masing.
Kelonggaran ini diberikan oleh Rasulullah agar mudah bagi mereka untuk membaca
dan menghafalkan Al-Qur’an itu, tetapi kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa
pertikaian tentang qiraat itu, kalau dibiarkan berlangsung terus, tentu akan
mendatangkan perpecahan yang lebih luas dikalangan kaum kuslimin, terutama
karena masing-masing qabilah menganggap bahwa bacaan merekalah yang paling baik
dan ejaan merekalah yang paling betul. Lebih berbahaya lagi apabila mereka
menuliskan ayat-ayat itu dengan ejaan yang sesuai dengan dealek mereka
masing-masing.[11]
Orang yang mula-mula mensinyalir dan
menumpahkan perhatian kepada keadaan ini ialah seorang sahabat bernama
Hudzaifah Al-Yamani. Ia ikut dalam pertempuran, ketika kaum muslimin
menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Di dalam perjalanan ia pernah mendengar
perbedaan qiraat kaum muslimin, bahkan ia pernah menyaksikan dua orang muslim
sedang bertengkar mengenai bacaan tersebut, di mana yang seorang berkata kepada
yang lain:قراءتي أحسن من قراءتك ”Bacaanku lebih baik dari
pada bacaanmu”. Hudzaifah merasa khawatir melihat kenyataan ini, sebab itu
ketika ia kembali ke Madinah, ia menghadap khalifah Usman dan melaporkan
apa-apa yang telah dilihat dan didengarnya. Mengenai perbedaan qiraat itu
Hudzaifah berkata (Al-Suyuti, I, 1979:61):
أدرك
الآ مة قبل أن يختلفوا إختلاف اليهود و النصاري
Tertibkanlah umat sebelum mereka
berselisih, seperti perselisiannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Usul
Hudzaifah ini diterima khalifah Usman.[12] Itulah
sebabnya, Usman kemudian berpikir dan merencanakan untuk membendung sebelum
kegilaan itu meluas. Beliau akan mengusir penyakit sebelum kesulitan mencari
obat. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta
mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan fitnah dan persengketaan
itu.
Usman ra telah melaksanakan ketetapan
yang bijaksana ini. Beliau memilih empat orang tokoh handal dari sahabat
pilihan. Mereka adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash dan
Abdurrahman bin Hisyam.
Mereka dari suku Quraisy golongan
Muhajirin, kecuali Zaid, ia dari golongan Anshar. Usaha yang amat mulia ini
berlangsung pada tahun 24 H.[13]
Tugas panitia ini ialah membukukan
Al-Qur’an, yaitu menuliskan atau menyalin kembali ayat-ayat Al-Qur’an itu dari
lembaran-lembaran yang telah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi
mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum
muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan mereka.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendekatan
filologi atau literal dalam studi Islam meliputi metode tafsir sebagai
pendekatan filologi terhadap alqur’an dalam menggali makna yang dikandungnya,
pendekatan filologi terhadap hadits atau sunnah Rasul dan pendekatan filologi
terhadap teks-teks klasik (hermeneutika) yang merupakan refleksi kebudayaan
kuno dalam tulisan-tulisan para intelek di masanya.
Pendekatan historis ini adalah suatu pandangan
umum tentang pandangan metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai
sekarang. Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat
normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia.
Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur
empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu
modern untuk mengkaji Al-Qur’an mulai digemari, kita perlu
memahami Al-Qur’an melalui berbagai dimensi dan dengan berbagai pendekatan.
Salah satunya dengan pendekatan filosofis dan sejarah yang dibahas dimakalah
ini.
Salah
satu pedoman hidup dalam beragama adalah kitab suci, kitab suci agama Islam
adalah Al-Qur’an. Al-Quran
adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh
umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang
terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para
Rasul.
B.
Saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman
penulis, untuk itu penulis mengharapkan kepada para pembaca terutama bagi dosen
pembimbing mata kuliah MSI. Untuk
memberikan kritik dan sarannya kepada penulis demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.
[1]
http://mahrus-salim.blogspot.com/makalah-filologis-pendekatan-histori.html/diakses pada 18-04-2014
[3]
Dudung Abdurrahman. Pendekatan Sejarah, hlm.
49
[4]
Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an Trjmh H.Aubur Rafiq El-Mazni, Lc. MA. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm.124
[5]
Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. ibid.,
hlm.16
[6]
Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Ibid.,
hlm.150-151
[7]
Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Ibid.,hal.159
[12]
Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar