Selasa, 25 November 2014

TRIAS POLITICA



BAB II
PEMBAHASAN
  A.     PENGERTIAN TRIAS POLITICA
            Di dalam buku karya Ahmad Sukardja yang berjudul “Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah” memuat kutipan yang bersumber dari Miriam Budiardjo “Dasar-Dasar Ilmu Politik, cerakan ke-4” mengatakan pengertian Trias Politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.[1]
            Trias Politica adalah pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga yang berbeda, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dimana tugas Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang, Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang, dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.
Dengan adanya pemisahan kekuasaan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin, dan tercapainya tujuan dari pemerintahan. Ajaran Trias politica di luar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian kekuasaan dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintahan dan untuk menjamin kebebasan rakyat.
            Bicara tentang lembaga perwalian, berarti kita bicara tentang demokrasi tidak langsung atau Intdirect Democracy. Perwakilan bisa berarti bahwa ada seorang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara atau bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Perwakilan juga bermakna sebagai principal agent, sesuatu yang berindak atas nama pihak lain.[2]
            Ajaran Trias Politica diajarkan oleh pemikir Inggris yaitu John Locke dan pemikir Perancis yaitu de Montesquieu. Menurut ajarannya tersebut :[3]
1.)      Badan Legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk undang-undang
2.)      Badan Eksekutif, yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang
3.)      Badan Yudikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan mengadilinya.
            Konsep Trias Politika (pembagian kekuasaan menjadi tiga) pertama kali dikemukakan oleh Jhon Lock dalam karyanya Traties of Civil Government (1690) dan kemudian oleh Baron Montesquieu (1748) dan L’eprit des Lois (1748). Konsep ini yang hingga kini masih berjalan di berbagai negara dunia.[4]
            Dalam hal pandangan para ahli tentulah berbeda, Jhon Lock memasukan kekuasaan Yudikatif kedalam eksekutif, sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan merupakan suatu kekuasaan yang berdiri sendiri.
            Adapun tiga jenis kekuasaan menurut Montesquieu adalah:
1.)      Kekuasaan yang bersifat mengatur, atau menetukan peraturan;
2.)      Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan, dan
3.)      Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan kekuasaan tersebut.
            Tiga jenis kekuasaan itu harus didistribusikan
1.)      Kekuasaan yang bersifat mengatur adalah kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada organ Legislatif;
2.)      Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan diserahkan kepada organ Eksekutif;
3.)      Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan diserahkan kepada organ Yudikatif.
  B.      SEJARAH TRIAS POLOTICA
            Trias Politica ini pertama kali deperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) yang ditafsirkan menjadi “pemisahan kekuasaan”.[5]
            Pemikiran John Locke mengenai Trias Politica ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil. Sebab itu, tidak mengherankan kalangan bangsawan kadang melakukan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
            Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif, Baron Secondat de Montesquieu atau yang sering disebut Montesquieu mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut: “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.
            Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
            Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
  C.      PEMISAHAN KEKUASAAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
            Dalam pelaksanaan trias politika di negara yang demokratis, masing-masing berjalan sesuai dengan tugas masing-masing kekuasaan. Namun pada kenyataannya, terkadang fungsi antar kekuasaan terjadi percampuran sehingga diperlukan adanya pemisahan kekuasaan atau disebut Separation of Power.
            Pemisahan kekuasaan merupakan ide yang menghendaki baik  organ, fungsi dan personal lembaga Negara terpisah sama sekali. Setiap lembaga Negara masing-masing menjalankan secara sendiri dan mandiri tugas, dan kewenangannya seperti yang ditentukan dalam ketentuan hukum. Separation of Power yang dimaksudkan oleh Montesque digunakan untuk mengukur demokrasi yang berlangsung di dalam suatu negara dan bukan diukur dengan trias politika yang ada. Pemisahan kekuasaan disini baik berupa organ maupun fungsi, dimana yang dimaksud dengan organ adalah “seseorang yang telah ada di dalam satu kekuasaan tidak boleh berada dimkekuasaan lainnya”. Sedangkan pemisahan fungsi maksudnya adalah “ satu badan hanya memiliki satu fungsi dan tidak boleh lebih”.
            Dalam hal pemisahan kekuasaan ada kalanya diperlukan check and balance (pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka, yaitu setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.[6]
            Prinsip check and balance  memiliki berbagai macam variasi, misalnya :[7]
1.)      The four branches: legislatif, eksekutif, yudukatif dan media. Media ini dianggap sebagai kekuatan demokratis keempat karena media memiliki kemampuan kontrol, memberikan informasi, dan transparansi terhadap prilaku dan kebijakan pemerintah maupun masyarakat.
2.)      Amerika Sekrikat, tingkat negara bagian (state) menganut trias politica, sedangkan tingkat country: Yudikatif (district attorny) dipilih, ada pemilihan atas sherrif, school boards, dan park commissioners.
3.)      Di Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensi eksekutif, dan kepala daerah memiliki hak veto.
4.)      Di Indonesia, Trias Politica tidak diterapkan secara utuh. Legislatif: DPR, Eksekutif: Presiden, dan Yudikatif: Mahkamah Agung (MA).
            Ada kecenderungan untuk menafsirkan Trias Politica tidak lagi sebagai pemisah kekuasaan (separation of powers), tetapi sebagai pembagian kekuasaan (division of powers) yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah yang berbeda, tetapi untuk selebihnya kerjasama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancara organisasi.[8]
            Ada bentuk tiga negara dalam kaitanya dengan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yaitu:
1.)      Negara Kesatuan (Unitary System);
2.)      Negara Konfederasi (Confederal System); dan
3.)      Negara Federal (Federal System).
            Menurut C.F. Strong, negara kesatuan merupakan bentuk negara tempat wewenang legislatif dipusatkan dalam satu badan legislatif pusat atau nasional. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak ada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan desentralisasi), tetapi tetap saja kekuasaan tertinggi ada di tangan pemerintah pusat.[9]
            Dalam praktik ketatanegaraan dunia, tidak ada Negara yang murni melaksanakan Separation of Power dengan tiga serangkai (trias politica). Bahkan Amerika Serikat yang oleh banyak sarjana disebut sebagai satu-satunya Negara yang ingein menjalankan teori trias politica. Dalam kenyataannya memeraktikan sistem saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan antara kekuasaan Negara.
  D.     TRIAS POLITICA DI INDONESIA
            Indonesia juga menerapkan teori tentang Trias Politica, namun sistem penerapannya berbeda ini disesuaikan dengan konteks sosial-politik di Indonesia. Jika dalam konsep asli “Trias Politica” menghendaki pemisahan kekuasaan (sparation of power), Indonesia memodifikasi menjadi pembagian kekuasaan (devision of power or distribution of power) tanpa menghilangkan esensi-esensi dasar teori itu, seperti perlunya kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dan lain-lain.[10]
            Meskipun UUD 1945 tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa doktrin “Trias Politica” dianut, namun UUD 1945 menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut “Trias Politica” dalam arti pembagian kekuasaan.
            Apabila ajaran Trias Politica diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersebut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisahkan dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
            Di dalam UUD 1945 telah termuat penjelasan pembagian kekuasaan, misalnya BAB III “Kekuasaan Pemerintahan Negara”, BAB VII “Dewan Perwakilan Rakyat”, dan BAB IX “Tentang Kekuasaan Kehakiman”. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh presiden bersama-sama dengan DPR. Kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh menteri-menteri, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung.[11]
            Sistem penyelenggaraan pemerintahan di negara kita setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, telah melakukan dengan sistem pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan “separaticion of power”. Dalam prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD.
            DPR memiliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan pemerintahan. DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Namun demikian, setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) harus dibahas dan mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden sehingga terdapat keseimbangan. Sedangkan DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemekaran daerah, pengelolah sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
            Dalam hubungannya dengan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, namun harus dijalankan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar dan sesuai peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping itu prinsip saling mengawasi dan mengimbangi, Presiden juga berhak mengajukan RUU kepada DPR.
            Berkaitan dengan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap UU, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU adalah bentuk pengawasan dan untuk mengimbangi kewenangan peraturan yang dimiliki oleh eksekutif.
            Sedangkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
            Sedangkan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
            Trias Politica yang berlaku di Indonesia diatur dalam UUD 1945, dimana kekuasaan tersebut yaitu :
a)   Kekuasaan legislatif yaitu DPR
Pasal 20 ayat (1), yang berbunyi “Tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” yang berarti DPR  memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
b)   Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden
Pasal 4 ayat (1), yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” memegang kekuasaan pemerintahan .
c)    Kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Pasal 24 ayat (1), yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang” yang berarti memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
            Berdasarkan penjelasan mengenai Trias Politica di atas, secara umum trias politica di Indonesia, ada beberapa fungsi dan tujuan negara yang diuraikan secara lebih jauh. Selain pembagian kekuasaan menurut fungsinya yang berkaitan dengan konsep “Trias Politica”, negara juga mempunyai fungsi dan tujuan yang lain, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari suatu negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth).[12]







BAB III
PENUTUP
  A.     KESIMPULAN
            Trias Politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
            Trias Politica ini pertama kali deperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) yang ditafsirkan menjadi “pemisahan kekuasaan”. Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
            Ajaran Trias Politica diajarkan oleh pemikir Inggris yaitu John Locke dan pemikir Perancis yaitu de Montesquieu. Menurut ajarannya tersebut :[13]
4.)      Badan Legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk undang-undang
5.)      Badan Eksekutif, yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang
6.)      Badan Yudikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan mengadilinya.
            Pemisahan kekuasaan merupakan ide yang menghendaki baik  organ, fungsi dan personal lembaga Negara terpisah sama sekali. Ada bentuk tiga negara dalam kaitanya dengan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yaitu:
1.)      Negara Kesatuan (Unitary System);
2.)      Negara Konfederasi (Confederal System); dan
3.)      Negara Federal (Federal System).
            Indonesia memodifikasi menjadi pembagian kekuasaan (devision of power or distribution of power) tanpa menghilangkan esensi-esensi dasar teori itu, seperti perlunya kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dan lain-lain. Ajaran Trias Politica diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersebut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisahkan dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
  B.      SARAN
            Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis, untuk itu penulis mengharapkan kepada para pembaca terutama bagi dosen pembimbing mata kuliah Hukum Tata Negara untuk memberikan kritik dan sarannya kepada penulis demi kesempurnaan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Elbyara, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Politik. Jember: Ar-Ruzz Media, 2010.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
_______. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

  oleh: #Khairunnasri3
fb: Khairun Nasri Bugbon



[1] Ahmad, Sukardja. Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah. (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.129
[2] Abu Bakar Elbyara. Pengantar Ilmu Politik. (Jember: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm.187
[3] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 152
[4] Op.cit., hlm.187-188
[5] Ahmad, Sukardja. Loc.cit., hlm.128
[6] Abu Bakar Elbyara. Loc.cit., hlm.189
[7] Ibid.,
[8] Ahmad, Sukardja. Loc.cit., hlm.133
[9] Abu Bakar Elbyara. Pengantar Ilmu Politik. (Jember: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm.212
[10] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.151
[11] Abu Bakar Elbyara. Op.cit., hlm.209-210
[12] Abu Bakar Elbyara. Op.cit., hlm.210
[13] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 152

1 komentar: