BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN TRIAS POLITICA
Di dalam buku karya Ahmad Sukardja yang
berjudul “Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif
Fikih Siyasah” memuat kutipan yang bersumber dari Miriam Budiardjo “Dasar-Dasar
Ilmu Politik, cerakan ke-4” mengatakan pengertian Trias Politika adalah suatu
prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan
kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
berkuasa.[1]
Trias Politica adalah pemisahan kekuasaan
kepada tiga lembaga yang berbeda, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dimana
tugas Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang, Eksekutif adalah
lembaga yang melaksanakan undang-undang, dan Yudikatif adalah lembaga yang
mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan,
menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi
bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.
Dengan adanya pemisahan kekuasaan demikian diharapkan hak-hak asasi warga
negara lebih terjamin, dan tercapainya tujuan dari pemerintahan. Ajaran Trias
politica di luar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian
kekuasaan dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah
hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan
sewenang-wenang pemerintahan dan untuk menjamin kebebasan rakyat.
Bicara tentang lembaga perwalian,
berarti kita bicara tentang demokrasi tidak langsung atau Intdirect
Democracy. Perwakilan bisa berarti bahwa ada seorang atau kelompok yang
mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara atau bertindak atas nama
suatu kelompok yang lebih besar. Perwakilan juga bermakna sebagai principal
agent, sesuatu yang berindak atas nama pihak lain.[2]
Ajaran Trias Politica diajarkan oleh pemikir Inggris yaitu John
Locke dan pemikir Perancis yaitu de Montesquieu. Menurut ajarannya tersebut :[3]
1.) Badan Legislatif, yaitu badan yang
bertugas membentuk undang-undang
2.) Badan Eksekutif, yaitu badan yang
bertugas melaksanakan undang-undang
3.) Badan Yudikatif, yaitu badan yang
bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan mengadilinya.
Konsep Trias Politika (pembagian
kekuasaan menjadi tiga) pertama kali dikemukakan oleh Jhon Lock dalam karyanya Traties
of Civil Government (1690) dan kemudian oleh Baron Montesquieu (1748) dan
L’eprit des Lois (1748). Konsep ini yang hingga kini masih berjalan di berbagai
negara dunia.[4]
Dalam hal pandangan para ahli
tentulah berbeda, Jhon Lock memasukan kekuasaan Yudikatif kedalam eksekutif,
sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan merupakan suatu kekuasaan
yang berdiri sendiri.
Adapun tiga jenis kekuasaan menurut
Montesquieu adalah:
1.)
Kekuasaan
yang bersifat mengatur, atau menetukan peraturan;
2.)
Kekuasaan
yang bersifat melaksanakan peraturan, dan
3.)
Kekuasaan
yang bersifat mengawasi pelaksanaan kekuasaan tersebut.
Tiga jenis kekuasaan itu harus
didistribusikan
1.)
Kekuasaan yang bersifat mengatur
adalah kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada organ Legislatif;
2.)
Kekuasaan yang bersifat
melaksanakan peraturan diserahkan kepada organ Eksekutif;
3.)
Kekuasaan yang bersifat mengawasi
pelaksanaan peraturan diserahkan kepada organ Yudikatif.
B. SEJARAH TRIAS POLOTICA
Trias
Politica ini pertama kali deperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie
(1689-1755) yang ditafsirkan menjadi “pemisahan kekuasaan”.[5]
Pemikiran John Locke mengenai Trias
Politica ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia
tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690.
Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah
“bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).”
Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja
dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil
pekerjaannya tersebut. Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang,
utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan
raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para
bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan
mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya
peternakan, tanah, maupun kastil. Sebab itu, tidak mengherankan kalangan
bangsawan kadang melakukan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini,
misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Menurut Locke, kekuasaan yang harus
dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif, Baron Secondat de
Montesquieu atau yang sering disebut Montesquieu mengajukan
pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya
termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai
berikut: “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan
legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan
hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang
bergantung pada hukum sipil.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3
kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan
kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian
Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan
Perancisnya, Montesquieu.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai
berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan
legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan
hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang
bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat
mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat
damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan
mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum
penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini
kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
C.
PEMISAHAN
KEKUASAAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
Dalam
pelaksanaan trias politika di negara yang demokratis, masing-masing berjalan
sesuai dengan tugas masing-masing kekuasaan. Namun pada kenyataannya, terkadang
fungsi antar kekuasaan terjadi percampuran sehingga diperlukan adanya pemisahan
kekuasaan atau disebut Separation of
Power.
Pemisahan kekuasaan merupakan ide
yang menghendaki baik organ, fungsi dan personal lembaga Negara terpisah
sama sekali. Setiap lembaga Negara masing-masing menjalankan secara sendiri dan
mandiri tugas, dan kewenangannya seperti yang ditentukan dalam ketentuan hukum.
Separation of Power yang dimaksudkan
oleh Montesque digunakan untuk mengukur demokrasi yang berlangsung di dalam
suatu negara dan bukan diukur dengan trias politika yang ada. Pemisahan
kekuasaan disini baik berupa organ maupun fungsi, dimana yang dimaksud dengan
organ adalah “seseorang yang telah ada di dalam satu kekuasaan tidak boleh
berada dimkekuasaan lainnya”. Sedangkan pemisahan fungsi maksudnya adalah “
satu badan hanya memiliki satu fungsi dan tidak boleh lebih”.
Dalam hal pemisahan kekuasaan ada
kalanya diperlukan check and balance (pengawasan dan keseimbangan)
diantara mereka, yaitu setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi
cabang kekuasaan lainnya.[6]
Prinsip check
and balance memiliki berbagai macam
variasi, misalnya :[7]
1.) The
four branches: legislatif, eksekutif, yudukatif dan media. Media ini dianggap
sebagai kekuatan demokratis keempat karena media memiliki kemampuan kontrol,
memberikan informasi, dan transparansi terhadap prilaku dan kebijakan
pemerintah maupun masyarakat.
2.) Amerika
Sekrikat, tingkat negara bagian (state) menganut trias politica,
sedangkan tingkat country: Yudikatif (district attorny)
dipilih, ada pemilihan atas sherrif, school boards, dan park
commissioners.
3.) Di
Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensi eksekutif, dan kepala daerah
memiliki hak veto.
4.) Di
Indonesia, Trias Politica tidak diterapkan secara utuh. Legislatif: DPR,
Eksekutif: Presiden, dan Yudikatif: Mahkamah Agung (MA).
Ada kecenderungan untuk menafsirkan
Trias Politica tidak lagi sebagai pemisah kekuasaan (separation of powers),
tetapi sebagai pembagian kekuasaan (division of powers) yang diartikan
bahwa hanya fungsi pokoklah yang berbeda, tetapi untuk selebihnya kerjasama di
antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancara organisasi.[8]
Ada bentuk
tiga negara dalam kaitanya dengan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah
yaitu:
1.) Negara
Kesatuan (Unitary System);
2.) Negara
Konfederasi (Confederal System); dan
3.) Negara
Federal (Federal System).
Menurut C.F. Strong, negara kesatuan
merupakan bentuk negara tempat wewenang legislatif dipusatkan dalam satu badan
legislatif pusat atau nasional. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan
tidak ada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara
kesatuan dengan desentralisasi), tetapi tetap saja kekuasaan tertinggi ada di
tangan pemerintah pusat.[9]
Dalam praktik ketatanegaraan
dunia, tidak ada Negara yang murni melaksanakan Separation of Power
dengan tiga serangkai (trias politica). Bahkan Amerika Serikat yang oleh
banyak sarjana disebut sebagai satu-satunya Negara yang ingein menjalankan
teori trias
politica. Dalam kenyataannya memeraktikan sistem saling mengawasi
dan saling mengadakan perimbangan antara kekuasaan Negara.
D. TRIAS POLITICA DI INDONESIA
Indonesia
juga menerapkan teori tentang Trias Politica, namun sistem penerapannya berbeda
ini disesuaikan dengan konteks sosial-politik di Indonesia. Jika dalam konsep
asli “Trias Politica” menghendaki pemisahan kekuasaan (sparation of power),
Indonesia memodifikasi menjadi pembagian kekuasaan (devision of power or
distribution of power) tanpa menghilangkan esensi-esensi dasar teori itu,
seperti perlunya kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dan lain-lain.[10]
Meskipun UUD 1945 tidak menjelaskan
secara eksplisit bahwa doktrin “Trias Politica” dianut, namun UUD 1945
menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
menganut “Trias Politica” dalam arti pembagian kekuasaan.
Apabila ajaran Trias Politica diartikan suatu ajaran
pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran
tersebut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisahkan dan
masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu
alat perlengkapan negara.
Di dalam UUD 1945 telah termuat
penjelasan pembagian kekuasaan, misalnya BAB III “Kekuasaan Pemerintahan
Negara”, BAB VII “Dewan Perwakilan Rakyat”, dan BAB IX “Tentang Kekuasaan
Kehakiman”. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh presiden bersama-sama dengan
DPR. Kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh menteri-menteri,
sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung.[11]
Sistem penyelenggaraan pemerintahan di negara kita setelah
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,
telah melakukan dengan sistem pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan “separaticion
of power”. Dalam prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan legislatif
dipegang oleh DPR dan DPD.
DPR
memiliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang
berkaitan dengan pemerintahan. DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Namun
demikian, setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) harus dibahas dan mendapat
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden sehingga terdapat keseimbangan.
Sedangkan DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pemekaran daerah, pengelolah sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya.
Dalam hubungannya dengan kekuasaan eksekutif dipegang oleh
Presiden, namun harus dijalankan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar dan
sesuai peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping itu prinsip saling
mengawasi dan mengimbangi, Presiden juga berhak mengajukan RUU kepada DPR.
Berkaitan dengan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan
peradilan dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang terhadap UU, dan mempunyai kewenangan lainnya yang
diberikan oleh UU. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU
adalah bentuk pengawasan dan untuk mengimbangi kewenangan peraturan yang
dimiliki oleh eksekutif.
Sedangkan
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sedangkan
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial
harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Trias Politica yang berlaku di Indonesia diatur dalam UUD
1945, dimana kekuasaan tersebut yaitu :
a)
Kekuasaan legislatif yaitu DPR
Pasal
20 ayat (1), yang berbunyi “Tiap
undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” yang berarti
DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
b)
Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden
Pasal
4 ayat (1), yang berbunyi “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”
memegang kekuasaan pemerintahan .
c)
Kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Pasal
24 ayat (1), yang berbunyi “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang” yang berarti memegang kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan penjelasan mengenai
Trias Politica di atas, secara umum trias politica di Indonesia, ada beberapa
fungsi dan tujuan negara yang diuraikan secara lebih jauh. Selain pembagian
kekuasaan menurut fungsinya yang berkaitan dengan konsep “Trias Politica”,
negara juga mempunyai fungsi dan tujuan yang lain, dapat dikatakan bahwa tujuan
akhir dari suatu negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum
publicum, common good, common wealth).[12]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Trias
Politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya
tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
oleh pihak yang berkuasa.
Trias Politica ini pertama kali
deperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) yang
ditafsirkan menjadi “pemisahan kekuasaan”. Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu
simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan
1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai
dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian
disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Ajaran Trias Politica diajarkan
oleh pemikir Inggris yaitu John Locke dan pemikir Perancis yaitu de
Montesquieu. Menurut ajarannya tersebut :[13]
4.) Badan Legislatif, yaitu badan yang
bertugas membentuk undang-undang
5.) Badan Eksekutif, yaitu badan yang
bertugas melaksanakan undang-undang
6.) Badan Yudikatif, yaitu badan yang
bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan mengadilinya.
Pemisahan kekuasaan merupakan ide
yang menghendaki baik organ, fungsi dan personal lembaga Negara terpisah
sama sekali. Ada bentuk tiga negara dalam kaitanya dengan pembagian kekuasaan
antara pusat dan daerah yaitu:
1.)
Negara Kesatuan (Unitary System);
2.) Negara
Konfederasi (Confederal System); dan
3.) Negara
Federal (Federal System).
Indonesia memodifikasi menjadi
pembagian kekuasaan (devision of power or distribution of power) tanpa
menghilangkan esensi-esensi dasar teori itu, seperti perlunya kontrol terhadap
kekuasaan eksekutif dan lain-lain. Ajaran Trias Politica diartikan suatu
ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran
tersebut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisahkan dan
masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu
alat perlengkapan negara.
B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari
bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, dikarenakan keterbatasan
ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis, untuk itu penulis mengharapkan kepada
para pembaca terutama bagi dosen pembimbing mata kuliah Hukum Tata Negara untuk memberikan kritik dan sarannya kepada
penulis demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Elbyara, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Politik. Jember: Ar-Ruzz
Media, 2010.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
_______. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992.
Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi
Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
fb: Khairun Nasri Bugbon
[1]
Ahmad, Sukardja. Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam
Perspektif Fikih Siyasah. (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.129
[2]
Abu Bakar Elbyara. Pengantar Ilmu Politik. (Jember: Ar-Ruzz Media,
2010), hlm.187
[3]
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005), hlm. 152
[4]
Op.cit., hlm.187-188
[5]
Ahmad, Sukardja. Loc.cit., hlm.128
[6]
Abu Bakar Elbyara. Loc.cit., hlm.189
[7]
Ibid.,
[8]
Ahmad, Sukardja. Loc.cit., hlm.133
[9]
Abu Bakar Elbyara. Pengantar Ilmu Politik. (Jember: Ar-Ruzz Media,
2010), hlm.212
[10]
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1992), hlm.151
[11]
Abu Bakar Elbyara. Op.cit., hlm.209-210
[12]
Abu Bakar Elbyara. Op.cit., hlm.210
[13]
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005), hlm. 152
Sangat bermanfaat,trimakasih khairun
BalasHapus